*Cinta Allah Tidak Membutakan*.



“Cintailah sesamamu. Dan salah satu bentuk cintamu pada Allah, adalah dengan mencintai ciptaanNya”. Kalimat itu sering saya dengar maupun baca. Alangkah indahnya bila kita bisa mengambil sepercik cinta Allah untuk ditanamkan dalam hati sehingga memancar dan memberi sebaran cinta itu kepada sesama makhluk secara luas.

”Cintailah sesamamu. Bantulah orang di sekelilingmu yang membutuhkan pertolongan”. Itupun sering kita dengar. Sebuah perwujudan untuk menyebarkan kasih Allah adalah dengan menolong orang yang berada dalam kesulitan dan perlu bantuan baik moril maupun materiil. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Sesuatu yang indah sebagai upaya memercikkan cinta Allah melalui makhlukNya.

Cinta Allah kepada makhlukNya tidak terbatas dan Allah Maha Adil, tidak memilih-milih ataupun pandang bulu. Apakah kepada penjahat, pembunuh ataupun kepada para orang-orang yang beriman. Yang membedakan adalah, apakah masing-masing individu itu membuka hati untuk menerima cintaNya? Hati yang bersih adalah hati yang lapang dan luas untuk bisa menerima cintaNya tanpa pamrih. Dan itu akan terpancar dari perkataan maupun perbuatan.

Konteks tersebut akan berubah, bila ’ego’ sebagai manusia mempengaruhi keputusan untuk menolong sesama. Bila kita berkaca pada sifat Allah yang memberikan cinta tanpa pandang bulu, pertanyaannya adalah: samakah niat kita untuk menolong sesama pada dua orang yang berbeda yang sama-sama membutuhkan pertolongan? Contohnya, ada seorang yang dikenal baik dan beriman memutuskan untuk menikahi seorang janda yang malang dan membutuhkan perlindungan sebagai upaya mewujudkan cinta Allah. Apakah keputusan itu akan tetap dilaksanakan bila janda tersebut wanita tua yang tidak cantik?. Apakah hati yang berbicara untuk menolong karena Allah, ataukah ’ego’ dan ’nafsu’ yang mendorongnya?

Hidup adalah laboratorium besar untuk kita melakukan ’trial’ dan ’error’ dan menganalisa. Dalam laboratorium orang bisa berbuat salah untuk menemukan yang benar. Sekaligus bisa melihat percobaan orang lain yang benar untuk ditiru. Sebagai manusia yang penuh kekurangan, Allah memberikan sebuah laboratorium hidup agar manusia bisa belajar untuk lebih mengenal cinta Allah. Karena cinta Allah pula, maka diberikan banyak contoh dalam hidup ini supaya kita bisa bercermin. Berapa banyak contoh yang bisa kita lihat, bahwa orang baik dengan alasan menolong sesama hidupnya menjadi berantakan karena menikahi janda yang notabene lebih muda dan lebih cantik dari istrinya yang resmi? Mungkin masyarakat akan terkelabui dengan dalil-dalil pembenaran yang disampaikan. Tetapi, apakah bisa ’mengelabui’ Allah? Bila memang berniat menolong, seharusnya tanpa pilih-pilih.

”I’m falling in love, I can’t help it. Cinta adalah anugerah dan karunia Allah. Cinta membawa kebahagiaan. Cinta tidak akan salah, karena cinta berasal dari Allah. Adalah suatu kebetulan bila cinta yang mulia, anugerah Allah itu, jatuh ke tangan seorang yang lebih muda dan cantik dari istriku. This is not my fault, I just follow my heart”. Pernyataan itu mungkin benar. Yang salah, adalah apabila kita tidak menerapkan dalam konteks dan nilai-nilai yang dianggap benar dalam masyarakat luas. Apakah hanya karena “cinta” maka kita membabi buta tidak bisa mengendalikan hawa nafsu dan tidak peduli terhadap orang lain? Apakah karena “cinta” rela untuk melupakan kebaikan istri resmi yang selama ini mendampingi demi seorang yang lebih muda dan cantik (dengan alasan yang bersangkutan membutuhkan pertolongan). Apakah karena “cinta” maka harus dimaklumi bila melanggar etika yang ada?

Karena jatuh cinta bisa menimpa siapa saja dan dimana saja tanpa direncanakan maka bisa saja terjadi di tempat kerja, meskipun di rumah sudah ada keluarga yang lain. Terlepas dari keyakinan untuk monogami ataupun poligami; apakah secara etika profesional mengijinkan hal itu terjadi dengan alasan ”helping sekaligus loving the other”?. Bila hal itu terjadi, maka akan banyak ’conflict of interest’, karena akan memudarkan obyektifitas dalam menilai kinerja atau dalam memisahkan antara persoalan pribadi dan profesi. Hal itu juga menurunkan integritas seseorang. Perasaan cintanya bisa jadi benar adanya, we can’t help it. Tetapi akan menjadi salah bila secara sadar dilakukan di tempat kita dimana tuntutan profesionalitas mestinya dikedepankan.

Kalau seandainya hal itu terjadi apa yang bisa dilakukan? Terlepas apakah perasaan itu semu atau nyata, apakah cinta karena Allah atau karena ego dan nafsu, apakah benar atau salah secara norma, harusnya bisa dipisahkan secara jelas dalam konteks profesionalisme. Maka bisa diupayakan agar dilakukan di luar tempat kerja, misalnya salah satu beralih pada organisasi yang lain. Bila memang cinta tulus, murni dan karena Allah, perasaan cinta mungkin akan tetap bisa dipupuk, tanpa mengorbankan obyektifitas, integritas dan profesionalisme kerja.

Cinta memang buta. Semoga tidak membutakan hati. Karena cinta Allah tidak buta, dan justru membukakan mata dan melapangkan hati. Cinta Allah tidak sempit, tetapi justru membawa kebaikan yang lebih besar buat orang sekelilingnya. Kalau cinta karena Allah, maka kita tidak akan segan-segan mengakui di depan umum, dibandingkan menutup-nutupinya untuk kepentingan pribadi dan lebih sempit.

Semoga membawa sepercik renungan untuk bercermin.
Selamat membuka hati untuk menerima cinta Allah yang sebenar-benarnya.


*Ainun Jariyah*.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories

Pages

Cari Blog Ini

Search

Postingan Populer

Popular Posts

Arsip Blog

Recent Posts