*Golongan Yang Engkau beri Nikmat*.



Dalam QS Al-Fatihah ayat-7, Allah SWT menyatakan bahwa Shirath al-Mustaqiim adalah “jalan orang-orang yang diberi ni’mat (shirathal ladzina ‘anamta alaihim).” Sekali lagi, mengingat hakikat insan adalah jiwanya, maka ni’mat di sini selain bersifat jasadiah/lahiriah tentu yang lebih utama bagi jiwa-jadi nafsaniah sifatnya.

Mengenai siapa saja, serta pemeringkatan dari mereka yang diberi ni’mat inilah yang dinyatakan dalam QS An-Nisaa’ [4]: 69.

4 69

“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiiqiin, syuhada dan shalihiin. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (TQS.4:69)

Nabi, Shiddiqiin, Syuhada dan Shalihiin adalah para insan yang berada di Shirath al-Mustaqiim. Ini adalah istilah-istilah Al-Qur’an yang menunjukkan menyatakan tingkat kesucian jiwa (nafs).

Untuk memperoleh derajat yang demikian itu -selain peringkat nabi- kita hendaknya selalu jihad an-nafs (berjuang mengendalikan diri) menuju Tuhan-nya.

Pada kesempatan ini, kita mulai mengkaji karakteristik dari mereka yang sungguh-sungguh Allah perjalankan di Shirah al-Mustaqiim.

Shalihiin
Shalihiin didefinisikan Al-Qur’an dalam QS Al-Ankabut[29]: 9,

“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh benar-benar akan Kami masukkan mereka ke dalam (golongan) Shalihiin.”

Shalihiin = iman + amal-sholeh, dimana:
IMAN = pantulan nur-iman dari Al-Mukmin,
AMAL = yang diperintahkan Rukun Islam,
SHALEH = amal itu dikerjakan sewaktu qalbu-nya tidak-fasad/rusak

1) Iman

Iman adalah Cahaya yang Allah limpahkan ke qalb yang bersih dari dosa, bersihnya qalb karena hamba tersebut karena berhasil ditaubatkan secara haqq.

Ilustrasi ini, menggambarkan proses taubat yang dilalui, untuk meraih iman:
o Tahap I, qalb masih penuh kotoran.
Pada tahap ini kita melaksanakan taubat awal, lalu diberi iman-awal oleh Allah Sang Pemberi-Iman untuk modal-awal pembersihan.

Allah memberi nama Surat ke 40 dari Al-Qur’an Allah dengan salah satu nama-Nya, Al-Mukmin, yang bermakna Pemilik Iman. Jadi tidak ada manusia yang memiliki iman kalau tidak disinarkan-Nya cahaya iman. Tidak ada manusia yang memiliki imannya sendiri, tapi hanya memantulkan Cahaya Iman al-Mukmin.

o Tahap II, sebagian qalb mulai bersih.
Tahap selanjutnya dari seseorang yang mulai ditaubatkan, sewaktu ia mulai berupaya berbuat-baik dan mencoba melaksanakan petunjuk, maka sebagian qalb mulai dibersihkan.

Pada tahap ini terjadi gempuran-gempuran ujian pada kita, yang pada hakikatnya Allah rancang untuk meluaskan qalb kita. Kegelapan yang semula menghuni qalb terusir ke luar. Gempuran-gempuran seperti ini, secara umum diistilahkan sebagai musibah.

Kita menganggap konotasi musibah sebagai sesuatu yang buruk adanya. QS At-Taghabun [64]: 11, menyatakan bahwa “Tiada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah …” Maka apa saja yang dialami seseorang dalam pertaubatannya adalah karena Rahmat-Nya.

Sementara QS Ali ‘Imran [3]: 191 menyatakan “…tiada dalam ciptaan sesuatu yang bathil…”. Jelaslah bahwa kehadiran musibah menjumpai seseorang itu terjadi dengan seizin-Nya. Dengan pernyataan ini, jelaslah kehadiran musibahpun, sesuatu yang Allah hadirkan-dan karenanya bermanfaat bagi diri kita-walaupun bertentangan dengan selera jasadiyah kita.

Musibah juga merupakan alat untuk menguji ketaatan seorang insan kepada Rabb-nya. Seringkali mereka yang di Shirath al-Mustaqiim mencontohkan dengan adab mereka sendiri untuk berdo’a sewaktu datang musibah, yang kurang-lebih artinya: “Berilah aku yang baik menurut-Mu dan berilah aku kekuatan untuk menerima ketetapan-Mu”.

Mereka tidak mau melarikan diri dari ketetapan apapun yang datang. Al-Qur’an suci mencontohkan riwayat banyak orang suci yang memperlihatkan kesabarannya sewaktu dihampiri musibah.

o Tahap III, kepada qalb yang bersih ditebar benih iman.
Setelah qalbu bersih, maka ditebari dengan benih-benih iman, lalu disinari dengan Cahaya Iman, terjalinlah hubungan dengan Allah.
“… Dan barangsiapa yang beriman billah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke qalbunya” (QS At-Taghabun [64]: 11).

2) Amal
Amal dilaksanakan dengan panduan ilmu. Amal yang paling afdal adalah ilmu mengenai Allah ta’ala. Pelaksanaan amal dilandasi oleh Rukun Islam. Ada baikny kita pererhatikan pula Hadits Qudsi mengenai amal fardhu dan nawafil.

3) Shaleh
Lawannya adalah fasad yang berarti rusak. Wajah yang dihadapkan sang hamba pada khaliknya adalah qalb-nya. Jika qalb ini shaleh maka shaleh-lah keseluruhan dirinya. Jika fasad maka fasad-lah keseluruhannya.

Shalihiin adalah insan yang beriman, ada cahaya dari Ilahi yang dilimpahkan dan dipantulkan oleh qalbu yang suci. Terjalinlah jaringan komunikasi dengan Allah, turunlah petunjuk (hudan) melalui media nur-’iman. Dengan landasan hudan itu, ia beramal.

Dapat kita simpulkan, bahwa “ihdinash shirath al-mustaqiiim” (QS Al-Fatihah [1]: 6), yang dimohonkan kepada-Nya minimal sebanyak 17 x sehari-semalam dalam shalat, adalah permohonan agar setidak-tidaknya dimasukkan menjadi golongan Shalihiin.

Syuhada
Syuhada berada satu peringkat lebih tinggi daripada kaum Shalihiin. Allah menjelaskan tentang golongan ini pada QS.Al-Hadid [57]: 19,

“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang Shiddiqien dan Syuhada (orang-orang yang menjadi saksi) di sisi Rabb mereka. Bagi mereka pahala dan cahaya mereka. Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni-penghuni neraka.” (TQS.57:19)

adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Peringkat ini berkaitan dengan persaksian primoridal nafs di :

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (TQS.7: 172), yaitu persoalan dipikulnya amanah seperti yang tersurat dalam QS. [33]: 72.

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (TQS.33:72)

Inilah peringkat orang yang setidak-tidaknya:

mampu menjadi saksi tentang keberadaan Allah;
sudah mengetahui-kembali persaksiannya di alam-alastu;
mempersaksikan al-haqq dibalik sesuatu, tidak ada sesuatupun dalam penciptaan yang bathil (QS Ali ‘Imran [3]: 191).



Shiddiqiin
Shiddiqiin merupakan peringkat yang lebih tinggi daripada syuhada, didefinisikan Al-Qur’an dalam Al Hujurat [49]: 15:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah Shiddiqiin”. (TQS.49:15)

Shiddiqiin adalah Syuhada yang telah bekerja dengan “nur-ilmunya” di dunia ini. Bersama dengan golongan “Nabi” kaum “Shiddiqiin” disebut kaum yang dekat “qarib” kepada Allah.

Nabi
Pengertian Nabi dijelaskan dalam QS Al Ahzab [33]: 45 – 47, sebagai berikut:
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan,
dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi “.
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mu’min bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah”.

(TQS.33:45-47)

Itulah fungsi para Nabi as. bagi makhluk lainnya. Semua nabi dan rasul berada dalam kepemimpinan Rasulullah Muhammad s.a.w., sebagaimana ditunjukkan dalam jama’ah merka sewaktu shalat bersama dalam peristiwa mi’raj. Maka apa-apa yang mereka tampilkan dalam kiprah mereka sewaktu berada di dunia adalah seizin dan dalam kehendak Allah ta’ala belaka.

Adanya tuduhan, sekalipun hanya didalam hati kita, mengenai sikap atau tindakan seorang nabi yang kita pandang dengan negatif merupakan hambatan yang mencegahnya dimasukkan kita dalam golongan yang disebut dalam QS An Nisaa’ [4]: 69. Karena tidaklah mungkin kita dimasukkan dalam suatu kelompok dimana ada diantara anggotanya-yang semuanya Allah angkat-yang masih buruk dalam persangkaan kita.

Bershalawat kepada Nabi s.a.w, merupakan suatu usaha agar kita Allah masukkan menjadi kaum Nabi Muhammad saw. Usaha untuk menghubungkan diri dengan Nabi saw, dengan menjadikan beliau sebagai teladan kita, sehingga Nabi Muhammad saw. berkenan memberikan syafaatnya. Allah Muhammad 1

Dengan kata lain, bershalawat adalah suatu doa serta komitmen untuk menjadikan teladan Rasulullah s.a.w. sebagai patron atau alat cetak pembentuk karakteristik kepribadian kita. Teladan yang tertulis di dalam Al-Qur’an adalah kiprah dan jihad para nabi dan rasul dalam bertaubat dan ditransformasikan jiwanya sewaktu ditarik kepada Allah.

Semakin tinggi peringkat kesucian jiwa seseorang dalam golongan mereka yang diberi nikmat, maka rasa jiwa akan semakin halus. Karenanya, semakin halus pula tingkat dosanya. Demikian pula semakin ditarik kepada Allah, semakin besar ujian yang akan datang. Perlu kita sadari bahwa orang yang dicintai Allah, akan diselimuti-Nya seperti seorang ibu menyelimuti anaknya. Allah akan menyelimuti orang tersebut dengan berbagai musibah dan ujian, untuk mencegahnya dihinggapi oleh hal-hal yang tidak Allah cintai. Wallahu a’lam bi shawwab. []


*Ainun Jariyah*.
Referensi:

1. Al-Quran
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories

Pages

Cari Blog Ini

Search

Postingan Populer

Popular Posts

Arsip Blog

Recent Posts