*Zikir Sebagai Sentral Dalam Agama Islam*.

konteks penghayatan keagamaan seperti dalam ajaran-ajaran sufi, kita tidak usah sejauh al-Hallaj. Saya kira, kita tidak usah menjadi sufi untuk mengetahui bahwa menghayati Allah itu sentral sekali dalam agama Islam, bahkan semua agama. Sebab semua ibadat mempunyai tujuan untuk membina hubungan dengan Allah.
Para dai sering mengingatkan kita tentang hikmah salat, yaitu mencegah kita dari perbuatan keji dan munkar, perbuatan yang tidak sesuai atau ditolak oleh hati nurani kita. Tetapi sebaiknya kita teruskan hikmah salat itu, “Dan mengingat Allah sungguh agung (dalam hidup), “ (Q. 29: 45). Artinya, yang memelihara kita dari kemungkinan berbuat salah itu adalah ingat kepada Allah setiap saat (waktu berdiri, waktu duduk, maupun waktu berbaring–tidak hanya pada waktu salat). Dengan kata lain, zikir itu penting sekali, dan kita tidak perlu menjadi sufi untuk menjadi orang yang gemar zikir. Kalau disebut orang yang berzikir, kita jangan hanya terbayang kepada orang yang teriak-teriak di masjid sambil menggeleng-gelengkan kepala. Itu zikir yang jahr, zikir yang lantang. Tetapi kalau kita kembali kepada al-Qur’an, zikir mestinya dalam hati, “Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu, degnan rendah hati dan rasa gentar, dan tanpa mengeraskan suara, “ (Q. 7: 205). Jadi zikir sebenarnya tidak perlu menggunakan pengeras suara, kecuali azan yang memang berarti pengumuman, yang harus didengar orang seluas mungkin.
Demikian pula, kalau disebut zikir, tak perlu kita teringat kepada tingkah laku eksentrik orang-orang yang mengaku sebagai mengikuti sufi dalam tarekat atau semacamnya. Jadi tidak usah sampai kepada apa yang dilakukan al-Hallaj, misalnya. Biarlah itu cara mereka sendiri, dan kita tidak perlu mengikuti cara tersebut. Yang jelas dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa zikir artinya komunikasi yang intim dengan Allah, dan zikir merupakan inti dari ajaran agama, “(Yaitu) mereka yang beriman, dan hatinya tenang karena ingat kepada Allah; sungguh, dengan mengingat Allah hati merasa tenang,” (Q. 13: 28). Rasa tenteram merupakan kualitas tertinggi dari pengalaman spiritual, sehingga ruh yang paling bahagia ialah seperti diserukan oleh Allah, “(Kepada jiwa yang beriman akan dikatakan:) ‘Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa lega dan diterima dengan rasa lega! Masuklah engkau ke dalam golongan hamba-hamba-Ku! Masuklah engkau ke dalam surga-Ku!,” (Q. 89: 27-30).
Sekali lagi, zikir itu amat penting sebagai upaya kita untuk menjalankan semua ajaran Allah, yang tujuan sebenarnya adalah untuk takwa. Dari sini memang terasa bahwa ketakwaan itu individual sekali, meskipun sebenarnya tidak. Sebab, implikasi takwa secara sosial memancar dalam tingkah laku, dalam hubungan dengan manusia dan sebagainya, yang kemudian melahirkan budi pekerti yang luhur. Karena itu, dalam sebuah hadis Rasulullah pernah menegaskan, “Yang paling banyak menyebabkan orang masuk surga ialah takwa kepada Allah dan budi pekerti yang luhur.” Rasulullah sendiri menyatakan, “Sesungguhnya aku diutus oleh Allah hanya untuk menyempurnakan budi pekerti yang luhur.” Oleh karena itu, zikir menjadi sentral dalam agama Islam. Dan untuk itu, kita tidak perlu lari kepada ajaran-ajaran eksentrik dalam sufi. Meski demikian, saya kira, kita juga harus mengapresiasi dan memahami semangat mereka.
Ada dua tafsiran mengenai ayat “inn-a ‘l-shalât-a tanhâ ‘an-i ‘l-fakhsyâ’-i wa ‘l-munkar-i wala dzikr-u ‘l-Lâh-i akbar—sebab salat mencegah orang dari perbuatan keji dan mungkar, dan mengingat Allah sungguh agung (dalam hidup),” Q. 29: 45). Tafsiran pertama bahwa yang dimaksud dzikr-u ‘l-Lâh adalah salat itu sendiri. Tetapi ada tafsiran lain yang mengatakan bahwa dzikr-u ‘l-Lâh bersifat umum, yaitu ingat kepada Allah. Dan tujuan salat sendiri adalah untuk ingat kepada Allah “… dirikan salat untuk mengingat Aku,” (Q. 20: 14). Ingat kepada Allah adalah inti dan tujuan salat. Karena itu orang yang salat tetapi ingatannya kepada Allah hanya sedikit, merupakan indikasi kemunafikan, “Bila mereka sudah berdiri hendak mengerjakan salat, mereka berdiri malas-malas, hanya supaya dilihat orang dan hanya sedikit mengingat Allah,” (Q. 4: 142); “Dan janganlah seperti mereka yang melupakan Allah, dan Allah pun akan membuat mereka lupa akan diri sendiri,” (Q. 59: 19).
Zikir yang dimaksud di sini adalah zikir secara umum, yang dapat dilakukan orang ketika duduk, berdiri, berbaring; setiap saat ingat kepada Allah. Dan medium untuk ingat kepada Allah banyak sekali, seperti syukur, takbir, membaca al-Qur’an, beramal, dan segala pekerjaan yang membuat kita berhubungan lebih dekat dengan Allah adalah zikir.
Sebenarnya yang membuat kita lebih terhindar dari perbuatan jahat adalah karena kita selalu ingat kepada Allah. Karena itu, setelah dikatakan salat dapat mencegah orang dari perbuatan jahat, kemudian disebukan “wala dzikr-u ‘l-Lâh-i akbar”, bahwa ingat kepada Allah itu lebih agung. Jadi setiap saat selalu ingat kepada Allah, menghayati akan kehadiran-Nya yang beserta kita, “ke mana pun kamu berpaling, di di situlah kehadiran Allah,” (Q. 2: 115). Karena itu kita harus belajar menghayati Allah sebagai omnipresent, Mahahadir, “di sini” beserta kita. Memang betul bahwa Allah al-‘âlî al-‘azhîm, tetapi yang dimaksud adalah undiscribable, tidak tergambarkan. Itulah sebabnya kenapa secara ilmiah Islam disebut sebagai iconoclastic, agama yang tidak memperkenalkan gambar suci. Karena sesuatu yang suci memang tidak bisa digambarkan, dan sekali digambarkan ia menjadi lebih rendah dari kemampuan kita sendiri.
Islam yang iconoclastic, bukan hanya tidak mengenal penggambaran Tuhan, tetapi juga malaikat dan bahkan Nabi Muhammad–kecuali Syiah yang boleh menggambar Nabi Muhammad. Maka ketika di Kongres Amerika, di gedung Kapitol ternyata ada patung Nabi Muhammad bersama dengan patung-patung yang lain diprotes oleh umat Islam Amerika, meskpiun patung itu sudah ada sejak 60 tahun lalu. Keberadaan patung Nabi Muhammad di sana dimaksudkan sebagai penghormatan kepadanya sebagai salah seorang pemberi hukum (Law Givers) kepada umat manusia. Pedang di tangan kanan Nabi Muhammad bukanlah lambang perang, melainkan lambang keadilan.                                                                    **Ainun Jariyah**.(cpt).
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories

Pages

Cari Blog Ini

Search

Postingan Populer

Popular Posts

Arsip Blog

Recent Posts