*ISLAM, IMAN DAN IHSAN SEBAGAI TRILOGI AJARAN ILAHI*


MAKNA DASAR ISLAM

Ada indikasi bahwa Islam adalah inisial seseorang masuk ke
dalam lingkaran ajaran Ilahi. Sebuah Ayat Suci melukiskan
bagaimana orang-orang Arab Badui mengakui telah beriman tapi
Nabi diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka
belumlah beriman melainkan baru ber-Islam, sebab iman belum
masuk ke dalam hati mereka (lihat, QS. al-Hujarat 49:14).
Jadi, iman lebih mendalam daripada Islam, sebab dalam konteks
firman itu, kaum Arab Badui tersebut barulah tunduk kepada
Nabi secara lahiriah, dan itulah makna kebahasaan perkataan
"Islam", yaitu "tunduk" atau "menyerah." Tentang hadits yang
terkenal yang menggambarkan pengertian masing-masing Islam,
iman dan ihsan, Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa agama memang
terdiri dari tiga unsur: Islam, iman dan ihsan, yang dalam
ketiga unsur itu terselip makna kejenjangan: orang mulai
dengan Islam, berkembang ke arah iman, dan memuncak dalam
ihsan. Ibn Taimiyah menghubungkan pengertian ini dengan firman
Allah, "Kemudian Kami (Allah) wariskan Kitab Suci pada
kalangan para hamba Kami yang Kami pilih, maka dari mereka ada
yang (masih) berbuat zalim, dari mereka ada yang tingkat
pertengahan (muqtashid), dan dari mereka ada yang bergegas
dengan berbagai kebijakan dengan izin Allah" (QS. Fathir
35:32). Menurut Ibn Taimiyah, orang yang menerima warisan
Kitab Suci (yakni, mempercayai dengan berpegang pada
ajaran-ajarannya) namun masih juga berbuat zalim adalah orang
yang baru ber-Islam, menjadi seorang Muslim, suatu tingkat
permulaan pelibatan dari dalam kebenaran. Ia bisa berkembang
menjadi seorang yang beriman, menjadi seorang mu'min, untuk
mencapai tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat menengah
(muqtashid), yaitu orang yang telah terbebas dari perbuatan
zalim, namun perbuatan kebajikannya sedang-sedang saja. Dalam
tingkatnya yang lebih tinggi, pelibatan diri dalam kebenaran
itu membuat ia tidak saja terbebas dari perbuatan jahat atau
dzalim dan berbuat baik, bahkan ia "bergegas" dan menjadi
"pelomba" atau "pemuka" (sabiq) dalam berbagai kebaiikan, dan
itulah orang yang telah ber-ihsan, mencapai tingkat seorang
muhsin. Orang yang telah mencapai tingkat muqtashid dengan
imannya dan tingkat sabiq dengan ihsan-nya, kata Ibn Taimiyah,
akan masuk surga tanpa terlebih dulu mengalami azab. Sedangkan
orang yang pelibatannya dalam kebenaran baru mencapai tingkat
ber-Islam sehingga masih sempat berbuat dzalim, ia akan masuk
surga setelah terlebih dulu merasakan azab akibat dosa-dosanya
itu. Jika ia tidak bertobat tidak diampuni Allah (Lihat, Ibn
Taimiyah, al-Iman [Kairo: Dar al-Thiba'at al-Muhammadiyah,
tt.], hal. 11).

PENGERTIAN DASAR IMAN

Kita telah mengetahui pengertian iman secara umum, yaitu sikap
percaya, dalam hal ini khususnya percaya pada masing-masing
rukun iman yang enam (menurut akidah Sunni). Karena percaya
pada masing-masing rukun iman itu memang mendasari tindakan
seorang maka sudah tentu pengertian iman yang umum dikenal itu
adalah wajar dan benar.

Namun, dalam dimensinya yang lebih mendalam, iman tidak cukup
hanya dengan sikap batin yang percaya atau mempercayai sesuatu
belaka, tapi menuntut perwujudan lahiriah atau
eksternalisasinya dalam tindakan-tindakan. Dalam pengertian
inilah kita memahami sabda Nabi bahwa iman mempunyai lebih
dari tujuh puluh tingkat, yang paling tinggi ialah ucapan
Tiada Tuhan selain Allah dan yang paling rendah menyingkirkan
bahaya di jalanan:



Juga dalam pengertian ini kita memahami sabda Nabi, "Demi
Allah, ia tidak beriman! Demi Allah, ia tidak beriman!" Lalu
orang bertanya, "Siapa, wahai Rasul Allah?" Beliau menjawab,
"Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kelakuan
buruknya." Lalu orang bertanya lagi, "Tingkah laku buruknya
apa?" Beliau Jawab, "Kejahatan dan sikapnya yang menyakitkan."

Juga sabda Nabi, "Demi Dia yang diriku ada di Tangan-Nya, kamu
tidak akan masuk surga sebelum kamu beriman, dan kamu tidak
beriman sebelum kamu saling mencintai. Belumkah aku beri
petunjuk kamu tentang sesuatu yang jika kamu kerjakan kamu
akan saling mencintai? Sebarkanlah perdamaian di antara sesama
kamu!"

Keterpaduan antara iman dan perbuatan yang baik juga
dicerminkan dengan jelas dalam sabda Nabi bahwa orang yang
berzina, tidaklah beriman ketika ia berzina, dan orang yang
meminum arak tidaklah beriman ketika ia meminum arak, dan
orang yang mencuri tidaklah beriman ketika ia mencuri, dan
seseorang tidak akan membuat teriakan menakutkan yang
mengejutkan perhatian orang banyak jika memang ia beriman."

Tiadanya iman dari orang yang sedang melakukan kejahatan itu
ialah karena iman itu terangkat dari jiwanya dan
"melayang-layang di atas kepalanya seperti bayangan." Demikian
itu keterangan tentang iman yang dikaitkan dengan perbuatan
baik atau budi pekerti luhur. (Lihat, Ibn Taimiyah, al-Iman,
hal.l2-13).

Berdasarkan itu, maka sesunggahnya makna iman dapat berarti
sejajar dengan kebaikan atau perbuatan baik. Ini dikuatkan
oleh adanya riwayat tentang orang yang bertanya kepada Nabi
tentang iman, namun turun wahyu jawaban tentang kebajikan
(al-birr), yaitu:

Bukanlah kebajikan itu bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke arah
Timur atau pun Barat. Tetapi kebajikan ialah jika orang
beriman kepada Allah, hari Kemudian, para malaikat, Kitab Suci
dan para Nabi. Dan jika orang mendermakan hartanya, betapa pun
cintanya kepada harta itu, untuk kaum kerabat, anak-anak yatim
orang-orang miskin, orang terlantar di perjalanan, dan untuk
orang yang terbelenggu perbudakan. Kemudian jika orang itu
menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Juga mereka yang
menepati janji jika membuat perjanjian, serta tabah dalam
kesusahan, penderitaan dan masa-masa sulit. Mereka itulah
orang-orang yang tulus, dan mereka itulah orang-orang yang
bertaqwa." (QS. 2:177).

PENGERTIAN DASAR IHSAN

Dalam hadits yang disinggung di atas, Nabi menjelaskan, "Ihsan
ialah bahwa engkau menyembah Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya, dan kalau engkau tidak melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihat engkau." Maka ihsan adalah ajaran
tentang penghayatan pekat akan hadirnya Tuhan dalam hidup,
melalui penghayatan diri sebagai sedang menghadap dan berada
di depan hadirat-Nya ketika beribadat. Ihsan adalah pendidikan
atau latihan untuk mencapai dalam arti sesungguhnya. Karena
itu, seperti dikatakan Ibn Taimiyah di atas, ihsan menjadi
puncak tertinggi keagamaan manusia. Ia tegaskan bahwa makna
ihsan lebih meliputi daripada iman, dan karena itu, pelakunya
adalah lebih khusus daripada pelaku iman, sebagaimana iman
lebih meliputi daripada Islam, sehingga pelaku iman lebih
khusus daripada pelaku Islam. Sebab dalam Ihsan sudah
terkandung iman dan Islam, sebagaimana dalam iman sudah
terkandung Islam (Lihat, Ibn Taimiyah, al-Iman, hal. 11).

Kemudian, kata-kata ihsan itu sendiri secara harfiah berarti
"berbuat baik." Seorang yang ber-ihsan disebut muhsin, sebagai
seorang yang ber-iman disebut mu'min dan yang ber-Islam
disebut muslim. Karena itu, sebagai bentuk jenjang penghayatan
keagamaan, ihsan terkait erat sekali dengan pendidikan berbudi
pekerti luhur atau berakhlaq mulia. Disabdakan oleh Nabi bahwa
yang paling utama di kalangan kaum beriman ialah yang paling
baik ahlaqnya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits
. Dirangkaikan dengan sikap pasrah kepada Allah
atau Islam, orang yang ber-ihsan disebutkan dalam Kitab Suci
sebagai orang yang paling baik keagamaannya:
Siapakah yang lebih baik dalam hal agama daripada orang yang
memasrahkan (aslama) dirinya kepada Allah dan dia adalah orang
yang berbuat kebaikan (muhsin), lagi pula ia mengikuti agama
Ibrahim secara tulus mencari kebenaran (hanif-an) (QS.
al-Nisa: 4:125).

Ihsan dalam arti akhlaq mulia atau pendidikan ke arah akhlaq
mulia sebagai pucak keagamaan dapat dipahami juga dari
beberapa hadits terkenal seperti "Sesungguhnya aku diutus
hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi"
[tulisan Arab] dan sabda Beliau lagi bahwa yang paling
memasukkan orang ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah dan
keluhuran budi pekerti."

Jika kita renungkan lebih jauh, sesungguhnya makna-makna di
atas itu tidak berbeda jauh dari yang secara umum dipahami
oleh orang-orang muslim, yaitu bahwa dimensi vertikal
pandangan hidup kita (iman dan taqwa --habl min al-Lah,
dilambangkan oleh takbir pertama atau takbirat al-Ihram dalam
shalat) selalu, dan seharusnya, melahirkan dimensi horizontal
pandangan hidup kita (amal salih, akhlaq mulia, habl min
al-nas, dilambangkan oleh ucapan salam atau taslim pada akhir
shalat). Jadi makna-makna tersebut sangat sejalan dengan
pengertian umum tentang keagamaan. Maka sebenarnya di sini
hanya dibuat penjabaran sedikit lebih mendalam dan penegasan
sedikit lebih kuat terhadap makna-makna umum itu.

Bagaimana Mengkompromikan Ketiga Istilah Ini?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila dibandingkan dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain… (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 63)

Muslim, Mu’min dan Muhsin

Oleh karena itulah para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap mu’min pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap muslim itu pasti mu’min, karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan anggota badannya, sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mu’min dengan iman yang sempurna. Sebagaimana Alloh Ta’ala telah berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu mengatakan ‘Kami telah beriman’. Katakanlah ‘Kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan: ‘Kami telah berislam’.” (Al Hujuroot: 14). Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu islam, kemudian tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64)

Kesimpulan

Dari hadits serta penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya pembagian agama ini menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat tidaklah dikenal oleh para ulama baik di kalangan sahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in; generasi terbaik ummat ini. Pembagian yang syar’i adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana di atas. Maka ini menunjukkan pula kepada kita alangkah berbahayanya pemahaman sufi semacam itu. Lalu bagaimana mungkin mereka bisa mencapai keridhoan Alloh Ta’ala kalau cara beribadah yang mereka tempuh justeru menyimpang dari petunjuk Rosululloh ? Alangkah benar Nabi yang telah bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim). Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia pun harus muslim dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang membolehkan orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan syari’at. Wallohu a’lam.

*Ainun Jariyah*.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories

Pages

Cari Blog Ini

Search

Postingan Populer

Popular Posts

Arsip Blog

Recent Posts