Lanjutan : *Sepuluh Wasiat Ilaahi, al an’aam 151-153*. (bag.2.).



“Barangsiapa membunuh seorang kafir yang telah diberi jaminan keamanan, sungguh ia tidak akan mencium bau syurga, padahal baunya dapat tercium sejauh 40 tahun perjalanan.”[34].

Kafir Musta’man, yaitu orang-orang kafir yang mendapatkan jaminan keamanan dari seorang kaum muslimin selama mereka tidak membatlkan jaminan tersebut. Allah –-ta’ala- berfirman;

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ [التوبة/6]

“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.”. (at Taubah; 6). Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata terhadap seorang kafir yang dijamin keamanannya oleh Ummu Hani’e –radhiyallahu ‘anha-;

قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ

“Sungguh kami telah menjamin orang yang telah engkau jamin wahai Ummu Hani’e.”[35].

Demikianlah beberapa keterangan yang menyebutkan tentang golongan orang-orang yang haram untuk ditumpahkan darahnya. Maka jika golongan ini haram untuk ditumpahkan darahnya, bagaimanakah dengan orang-orang yang membunuh dirinya sendiri … dan bagaimanakah jika yang ia bunuh itu adalah seorang ‘alim yang shaleh, seorang wali diantara wali-wali Allah ?!. Allah -ta’ala- berfirman;

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا [النساء/93]

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (An-nisaa’; 93). Rasulullah –-shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;

مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيهِ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ تَحَسَّى سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَسُمُّهُ فِي يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَجَأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا

“Barangsiapa bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya dari atas gunung, maka ia di dalam neraka akan menjatuhkan dirinya dari atas gunung, dan ia kekal didalamnya dengan perbuatan itu. Barangsiapa membunuh dirinya dengan menegak racun, maka di neraka ia akan menggenggam racun tersebut dan akan terus menegaknya. Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan menikamkan besi pada dirinya, niscaya ia akan terus menggenggam besi itu dan akan terus menikamkannya pada dirinya.”[36].

Membunuh seseorang merupakan sebesar-besarnya bentuk kedzaliman, namun perbuatan ini dibenarkan pada beberapa keadaan untuk meraih sebuah maslahat (kebaikan) yang lebih besar, dan memberantas sebuah bentuk mafsadat (kejahatan) yang bila dibiarkan akan menimbulkan dampak negatif yang akan mengancam kehidupan sosial secara umum dalam sebuah komunitas. Beberapa perbuatan yang menyebabkan halalnya darah seorang ditumpahkan adalah;

1. Murtad

2. Membunuh muslim dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan oleh agama, -terlebih- jika pembunuhan tersebut merupakan rangkaian dari sebuah perampokan.

3. Berzina bagi seorang yang telah menikah

4. Para pelaku homo dan lesbi

5. Seorang yang menikah dengan orang yang merupakan mahramnya; ibu tiri, ibu kandung, anak tiri, anak kandung, anak mantu, bibi, dll. Dalil dari semua yang telah disebutkan adalah keterangan-keterangan yang telah disebutkan sebelumnya, serta firman Allah –berkenaan dengan orang-orang yang merampok, menyamun, dan yang semisalnya;

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (33) إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيم [المائدة/33، 34]

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. Kecuali orang-orang yang Taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka Ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”. (al Maaidah; 33-34). Ibnu Abbas ––radhiyallahu ‘anhu- berpendapat berkenaan dengan ayat ini bahwa hukuman bagi seorang yang merampok, membunuh dan mengambil harta adalah dibunuh dan disalib. Hukuman bagi seorang yang merampok dan membunuh namun tidak mengambil harta adalah dibunuh. Hukuman bagi mereka yang merampok, mengambil harta namun tidak membunuh adalah dipotong tangan kanan dan kaki kirinya. Dan hukuman bagi seorang yang merampok, namun tidak membunuh dan tidak mengambil harta adalah diasingkan[37].

6. Seorang yang menolak dan tidak mau melaksanakan shalat dan membayar zakat padahal mereka sanggup untuk membayarnya, sebagaimana ketetapan Abu Bakar ––radhiyallahu ‘anhu- terhadap orang-orang yang menolak membayar zakat sepeninggal Rasulullah ––shallallahu ‘alaihi wasallam- sedang mereka mampu untuk membayarnya[38].

Wasiat keenam

Tidak mendekati harta anak yatim,

kecuali dengan cara yang lebih bermanfa`at, hingga ia dewasa.

Mengambil harta orang lain tanpa alasan yang dibenarkan adalah suatu hal yang diharamkan, bahkan pelakunya akan dikenakan sanksi hukum sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syari’at.

Jika harta yang diambil itu, adalah harta titipan seseorang yang telah meninggal untuk diberikan kepada anaknya -kelak- setelah ia dewasa; sungguh perbuatan demikian itu, adalah suatu hal yang sangat keji. Jika ditakdirkan, Allah -ta’ala- menghidupkan kembali sang mayat tersebut, apakah yang -sekiranya- akan ia lakukan terhadap orang yang telah memakan hartanya dan menelantarkan anak kandung (ahli warisnya)?.

Karenanya, Allah -ta’ala- memperingatkan secara tegas kepada seluruh kaum muslimin -pada umumnya-, dan kepada para wali anak yatim -secara khusus-; agar tidak menyelewengkan sedikitpun dari harta titipan mereka. Allah -ta’ala- berfirman;

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا [النساء/10]

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala .” (An-nisaa’; 10)

Tidak diperkenankan menggunakan harta titipan itu, kecuali jika ia (sang wali) ingin mengembangkannya dengan cara yang dibenarkan oleh agama dan dengan cara yang terbaik. Sebagaimana tidak pula diperkenankan untuk menyerahkan harta tersebut kepada anak sang mayit, kecuali setelah ia dewasa dan mempunyai keahlian dalam mengelolah uang secara baik dan efisien. Allah -ta’ala- berfirman;

وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آَنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا [النساء/6]

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa). Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (setelah dewasa), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan tergesa-gesa sebelum mereka dewasa. Barang siapa mampu, maka hendaklah ia menahan diri dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas .” (An-nisaa’; 6)

Bila ditanyakan siapakah yang dimaksud dengan anak yatim?. Ar-Raaghib berkata;

اليتيم صغير لا أب له

“Anak yatim adalah anak kecil yang tidak memiliki bapak”[39]. Selanjutnya dinyatakan dalam kitab “Mu’jam Lughati al Fuqahaa” bahwa sifat yatim itu dilekatkan bagi seorang yang ditinggal wafat oleh ayahnya sedang ia belum baligh[40]. Pengertian ini pun disebutkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- yang disampaikan oleh Ali –radhiyallahu ‘anhu-, Beliau –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda;

لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ

“Tiada sifat yatim yang dilekatkan bagi seorang jika ia telah baligh.”[41]. Maka dari keterangan ini dinyatakan bahwa seorang itu dikategorikan sebagai yatim bila ayahnya telah meninggal sedang ia belumlah baligh.

Bagaimana menandakan bahwa seorang itu telah baligh ?. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan pertanda akan sampainya usia seseorang pada masa baligh. Hal-hal itu adalah;

Mimpi basah, sebagaimana sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-;

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Pena itu diangkat dari tiga golongan manusia, yaitu; dari seorang yang tidur hingga ia terbangun, dan dari seorang anak hingga ia mimpi (basah), serta dari seorang yang gila hingga ia –kembali- sadar.”[42].

Usia telah genap 15 tahun, sebagaimana riwayat Abdullah bin Umar –radhiyallahuma-;

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَرَضَهُ يَوْمَ أُحُدٍ وَهْوَ ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً ، فَلَمْ يُجِزْنِى ، ثُمَّ عَرَضَنِى يَوْمَ الْخَنْدَقِ وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ فَأَجَازَنِى . قَالَ نَافِعٌ فَقَدِمْتُ عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَهْوَ خَلِيفَةٌ ، فَحَدَّثْتُهُ هَذَا الْحَدِيثَ ، فَقَالَ إِنَّ هَذَا لَحَدٌّ بَيْنَ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ .

“Pernah Beliau dihadirkan untuk ikut serta dalam perang uhud ketika usianya 14 tahun, namun Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak mengizinkannya ikut serta dalam perang tersebut. Lantas –kembali- Beliau dihadirkan untuk ikut dalam perang khandak ketika usianya 15 tahun, dan ketika itu Beliau pun mengizinkannya.”. Nafi’e (perawi hadits ini dari Ibnu Umar) berkata; “Saya pun tiba menemui Umar bin Abdul Aziz –rahimahullah- yang ketika itu telah menjabat sebagai khalifah, dan saya sebutkan riwayat ini kepada Beliau. Maka Beliau berkata; sesungguhnya usia ini adalah usia yang merupakan batas antara masa anak-anak dan usia dewasa.”[43].

Tumbuhnya rambut kemaluan, sebagaimana riwayat dari ‘Uthayyah al Quradzhi –radhiyallahu ‘anhu-, Beliau berkata;

كُنْتُ مِنْ سَبْىِ بَنِى قُرَيْظَةَ فَكَانُوا يَنْظُرُونَ فَمَنْ أَنْبَتَ الشَّعْرَ قُتِلَ وَمَنْ لَمْ يُنْبِتْ لَمْ يُقْتَلْ فَكُنْتُ فِيمَنْ لَمْ يُنْبِتْ.

“Saya pernah menjadi orang-orang yang ditahan dari golongan Yahudi bani Quraidzhah. Ketika itu kaum muslimin melihat orang-orang yang telah tumbuh rambut kemaluannya, maka dibunuh. Adapun golongan mereka yang belum tumbuh rambut kemaluannya, maka ia dibebaskan. Dan kala itu, saya masuk dalam golongan orang-orang yang belum tumbuh rambut kemaluannya.”[44].

Haid bagi wanita
Muncul buah dada

Bagaimana bila sang wali adalah seorang fakir, bolehkah ia mengambil bagiannya dari harta sang anak walinya?. Para ahli fikih berkata;

له أن يأكل أقل الأمرين: أجْرَةَ مثله أو قدر حاجته.

“Boleh baginya mengambil bagiannya dari harta anak yatim itu sejumlah kadar yang paling sedikit antara upah standar atau nominal hajatnya.”[45]. Namun setelah itu, mereka beda pendapat tentang kewajiban mengembalikan uang yang telah dipakainya itu, jika suatu ketika mereka berkecukupan.

Sebagian ulama berpendapat bahwa ia tidak wajib mengembalikan uang tersebut karena uang yang dipakainya itu sama dengan imbalan perawatan dan pemeliharaannya terhadap anak tersebut. Selain itu, Allah –ta’ala- telah membolehkan penggunaan harta tersebut tanpa menyebutkan kewajiban menggantinya, yaitu bagi wali yang memang membutuhkannya. Allah –ta’ala- berfirman;

وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا [النساء/6]

“Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan tergesa-gesa sebelum mereka dewasa. Barang siapa mampu, maka hendaklah ia menahan diri dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” (An-nisaa’; 6). Maka dari ayat ini dipahami bahwa kebolehan memanfaatkan harta anak yatim bagi walinya terpaut dengan dua syarat;

Wali adalah seorang yang tidak mampu
Adanya hajat sang wali itu hingga mengambil bagiannya –secara wajar- dari harta sang anak.

Golongan yang lain menyatakan bahwa boleh ia memanfaatkan harta anak yang menjadi walinya, namun ia berkewajiban untuk mengembalikannya ketika ia berkelapangan. Alasannya bahwa harta anak yatim itu asalnya tidak boleh diambil. Olehnya maka bila harta tersebut diambil karena adanya keperluan yang mendesak, wajiblah menggantinya ketika mampu; sama dengan seorang yang mengambil harta orang lain di masa dharurat, wajiblah ia menggantinya ketika berkelapangan. Umar bin Khaththab –radhiyallah ‘anhu- berkata –berkenaan dengan harta baitul mal-;

إني أنزلت نفسي في مال الله بمنزلة والي اليتيم إن استغنيت استعففت وإن احتجت أخذت منه بالمعروف فإذا أيسرت قضيت .

“Saya memposisikan diriku berkenaan dengan harta Allah (harta yang terdapat pada baitul mal) sama dengan saya memposisikan diriku berkenaan dengan harta anak yatim yang berada dalam tanggunganku. Bila saya berkecukupan, maka saya tidak mengambilnya. Tetapi bila saya membutuhkannya, maka saya mengambilnya sesuai dengan kebutuhanku itu, dan bila saya telah mampu, maka sayapun mengembalikannya.”[46].

Dari dua pendapat ini –wallahu a’lam- pendapat yang pertama adalah lebih tepat, yaitu boleh bagi seorang yang tidak mampu untuk mengambil kadar yang mencukupinya dan sang anak yang berada dalam perwaliannya tersebut. Hal ini didasarkan pada keumuman ayat yang telah disebutkan, dan didasarkan pula pada ayat-Nya yang lain;

إِنَّ الذين يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ اليتامى ظُلْماً إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَاراً وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيراً

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”, artinya –wallahu a’lam- bahwa orang-orang yang menggunakan harta tersebut tidak secara dzalim, yaitu dengan menggunakannya sesuai kebutuhan karena –pada asalnya- ia adalah seorang miskin, maka mereka itu tidaklah masuk dalam kategori orang yang disebutkan dalam ayat ini. Sebaliknya, jika orang tersebut adalah orang yang mampu, lantas dia menggunakan harta anak yang berada dalam perwaliaannya itu, maka demikianlah yang masuk dalam kategori sebagaimana yang tersebut dalam ayat. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa seorang laki-laki pernah datang kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan berkata;

إِنِّى فَقِيرٌ لَيْسَ لِى شَىْءٌ وَلِى يَتِيمٌ

“Wahai Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sesungguhnya saya ini adalah seorang fakir dan menanggung seorang anak yatim.”. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;

كُلْ مِنْ مَالِ يَتِيمِكَ غَيْرَ مُسْرِفٍ

“Makanlah dari harta anak yatim yang berada dalam perwalianmu secara tidak berlebih-lebihan.”[47].

Dari ayat ini pula dinyatakan sebuah kaidah tentang kewajiban yang hendaknya dipikul oleh seorang wali (wakil) dalam apapun aktifitas yang diamanahkan kepadanya;

يجب عليه أن لا يتصرف إلا بما هو أحسن.

“Ia tidak diperkenankan melakukan apa saja yang berkenaan dengan amanah yang dipikulnya kecuali dengan cara yang terbaik.”. Olehnya, terhadap seorang bapak yang memiliki anak wanita, jika ada dua orang laki-laki yang datang meminang anaknya itu, maka hendaklah ia memilih baginya orang yang lebih baik agamanya dari keduanya, karena itulah yang terbaik bagi sang anak, dan ia tidak boleh memilihkan bagi anaknya tersebut melainkan yang terbaik. Demikianlah contoh-contoh yang semisal dengan hal tersebut, wajib bagi seorang yang diserahi kepercayaan sebagai wakil (wali) dalam sebuah urusan untuk melakukan tindakan yang terbaik berkenaan dengan urusan yang berada dalam perwakilan (perwaliannya).

Wasiat ketujuh

Menyempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.

Menyempurnakan takaran atau timbangan pada saat membeli atau menjual adalah suatu hal yang diwajibkan dalam agama ini. Allah -ta’ala- berfirman;

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ (1) الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (2) وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ (3) أَلَا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ (4) لِيَوْمٍ عَظِيمٍ (5) يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ (6) [المطففين/1-6]

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?.” (Al-muthaffifiin; 1-6)

Berkata Abdullah bin ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhu- ;

مَا ظَهَرَ الْغُلُولُ فِي قَوْمٍ قَطُّ إِلَّا أُلْقِيَ فِي قُلُوبِهِمْ الرُّعْبُ وَلَا فَشَا الزِّنَا فِي قَوْمٍ قَطُّ إِلَّا كَثُرَ فِيهِمْ الْمَوْتُ وَلَا نَقَصَ قَوْمٌ الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلَّا قُطِعَ عَنْهُمْ الرِّزْقُ

“Bilamana telah nampak pada suatu kaum kecurangan dalam mengambil harta rampasan perang, niscaya Allah -ta’ala- akan mewariskan dalam hati-hati mereka perasaan takut. Bilamana perzinahan telah merebak pada sebuah kaum, niscaya Allah -ta’ala- akan mempertinggi tingkat kematian pada kaum tersebut. Bilamana suatu kaum mengurangi takaran atau timbangan, niscaya Allah -ta’ala- akan memutuskan rezki-Nya bagi kaum tersebut.”[48].

Menepati timbangan adalah sesuatu yang wajib, namun tatkala seseorang biasa melakukan kesalahan -yang tidak disengaja- dalam masalah ini, baik karena faktor kelalaian orang itu sendiri atau karena faktor timbangan yang kurang memenuhi standar, maka Allah -ta’ala- dengan segala rahmat-Nya berfirman;

لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا [الأنعام/152]

“Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.”.

Maka jika ia keliru (tidak sengaja), tidaklah ia dihukum atas kekeliruan tersebut; dan bila ia -dikemudian hari- menyadari kekeliruan tersebut, wajiblah atasnya mengganti hak orang yang telah ia rugikan -bila hal tersebut masih memungkinkan-.

Hal yang perlu diingat bahwa masalah ini memiliki banyak percabangan. Diantara percabangan masalah ini adalah melaksanakan tugas bagi seorang pegawai atau guru. Diantara mereka ada yang tanpa udzur syar’I mengurangi kadar waktu kerjanya secara sengaja. Sesungguhnya hal ini pun termasuk dalam kategori mengurangi kadar timbangan. Olehnya itu, hendaknya setiap orang bertakwa kepada Allah dalam setiap keadaan. Dan hanya kepada Allahlah tempat mengadu dan memohon pertolongan.

Wasiat kedelapan

Berkata adil kepada setiap orang

(Dalam Menetapkan Hukum diantara Mereka)

Berlaku adil -dalam segala keadaan- kepada setiap orang adalah suatu hal yang wajib. Allah -ta’ala- berfirman;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ [المائدة/8]

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-maaidah; 8)

Berlaku adil dalam menetapkan hukum diantara manusia adalah sesuatu yang wajib tanpa ada pengecualian, dispensasi dan udzur. Hal ini disebabkan karena yang demikian itu mungkin dilakukan –tentu yang dimaksud adalah perlakuan adil secara dzhahir dan dalam batas-batas kemanusiaan seseorang-. Karena itu maka di dalam ayat ini Allah -ta’ala- tidak mengikutinya dengan firman-Nya;

لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا [الأنعام/152]

“Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya”, sebagaimana hal ini disampaikan pada ayat sebelumnya, yaitu ketika disebutkan perintah untuk berlaku adil dalam takaran dan timbangan.

Wasiat kesembilan

Memenuhi janji kepada Allah -ta’ala-.

Memenuhi janji kepada Allah -ta’ala- diwujudkan dengan melaksanakan segala perintah-Nya; yang wajib maupun yang sunnah, serta meninggalkan segala larangan-Nya. Barangsiapa yang telah memenuhi hak Allah -ta’ala- atasnya, niscaya Allah -ta’ala- akan memberikan ganjaran yang setimpal akan usahanya itu, dan barangsiapa yang menyia-nyiakannya, niscaya Allah -ta’ala- pun akan menyia-nyiakannya. Allah -ta’ala- berfirman;

وَلَقَدْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا وَقَالَ اللَّهُ إِنِّي مَعَكُمْ لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلَاةَ وَآَتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَآَمَنْتُمْ بِرُسُلِي وَعَزَّرْتُمُوهُمْ وَأَقْرَضْتُمُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَلَأُدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ فَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيل [المائدة/12]

“Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (Al-maaidah; 12)

Wasiat kesepuluh

Mengikuti jalan Allah -ta’ala- yang lurus.

Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- berkata;

خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ قَالَ يَزِيدُ مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ

“Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-pernah menggambar sebuah garis lurus, kemudian Beliau berkata; ini adalah jalan Allah -ta’ala-. Setelah itu, Beliau -kembali- menggambar beberapa garis melenceng, disebelah kanan dan disebelah kiri garis lurus tersebut. Beliau berkata; ini adalah jalan-jalan melenceng; tidak satupun dari jalan tersebut, melainkan padanya ada syaithan yang senantiasa memanggil, selanjutnya Beliau membaca ayat Allah -ta’ala-; ” Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”[49].

Ayat ini -secara umum- merupakan perintah Allah -ta’ala- kepada segenap hamba-Nya untuk senantiasa meniti jalan Allah -ta’ala- yang lurus, tidak berpecah belah, dan menjauhi segala jalan yang menyimpang dari kebenaran; baik jalannya orang-orang kafir maupun jalan yang ditempuh oleh para pelaku maksiat dan pembuat bid’ah. Allah –ta’ala- berfirman;

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ [آل عمران/103]

” Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. ” (Ali Imraan; 103)

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيم [آل عمران/105]

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat, ” (Ali Imraan; 105)

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا [النساء/115]

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. ” (An-nisaa’; 115)

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ [الأنفال/46]

“Dan ta`atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. ” ( Al-anfaal; 46)

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ [الأنعام/159]

” Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. ” (Al-an’am; 159)

Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;

عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ مَنْ أَرَادَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ

“Berpegang teguhlah kalian terhadap jama’ah kaum muslimin, dan janganlah sekali-kali kalian berpecah belah; karena sesungguhnya syaithan itu akan senantiasa bersama seorang yang bersendirian, dan ia akan berada lebih jauh dari dua orang yang bersama-sama. Barangsiapa yang ingin mendapatkan sebaik-baik tempat di dalam syurga, maka hendaklah ia senantiasa bersama al-jama’ah”[50].

Seluruh keterangan yang telah disebutkan –tentu- sangat jelas menunjukkan kewajiban seorang beriman untuk senantiasa berjalan di atas jalan yang lurus dan tidak mengikuti jalan-jalan lain yang menyimpang dari kebenaran. Sebagaimana keterangan-keterangan tersebut –juga- berisi perintah kepada setiap orang beriman untuk senantiasa menjaga persaudaraan diantara mereka dan menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan pertikaian dan perpecahan.

Maka diantara hal yang dapat menyimpangkan seorang dari jalan yang benar, dan pada akhirnya akan menyebabkan timbulnya perpecahan dan pertikaian adalah perilaku bid’ah (mengada-adakan tata cara beribadah yang tidak disyari’atkan dalam agama yang mulia ini). Sahl bin ‘Abdullah –rahimahullah- berkata;

عليكم بالاقتداء بالأثر والسنة, فإني أخاف أنه سيأتي عن قليل زمان إذا ذكر إنسان النبي صلى الله عليه وسلم والاقتداء به في جميع أحوال ذموه ونفروا عنه وتبرءوا منه وأذلوه وأهانوه.

“Berpegang teguhlah kalian terhadap sunnah. Sesungguhnya saya khawatir, akan datang sebuah zaman; bila seseorang menyebut Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan kewajiban mengikutinya dalam segenap aspek kehidupan; ia lantas mencela, menghina dan melarang orang-orang mengikuti ajakan tersebut.”[51].

Sufyan At-tsauri –rahimahullah- berkata;

البدعة أحب إلى إبليس من المعصية; المعصية يتاب منها, والبدعة لا يتاب منها

“Perbuatan bid’ah itu lebih disenangi oleh iblis dari pada perbuatan maksiat. Seorang (akan lebih mudah) bertaubat dari perbuatan maksiat yang ia lakukan, sedangkan pelaku bid’ah tidak akan (sukar) bertaubat dari perlakuannya itu.”[52].

Raafi’e bin Khadiij –radhiyallahu ‘anhu- pernah mendengar Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-bersabda;

يكون في أمتي قوم يكفرون بالله وبالقرآن وهم لا يشعرون كما كفرت اليهود والنصارى

“Akan muncul dari ummat ini suatu kaum; mereka kafir terhadap Allah -ta’ala- dan Al-qur’an sebagaimana orang-orang yahudi dan nashrani kafir kepada keduanya, sedang mereka tidaklah menyadari akan hal tersebut.”[53].

Khatimah

Pada akhirnya, tiadalah kemenagan, kesuksesan dan kebahagiaan dapat diraih kecuali dengan penghambaan diri kepada Allah. Melaksanakan sepuluh wasiat Allah dalam surah ini, sungguh akan mengantar seorang yang hina menjadi mulia di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang bertakwa, dan tiadalah yang selamat melainkan hamba-hamba-Nya yang bertakwa.

Semoga Allah menjadikan kami dan Sahabat Majelis yang budiman sebagai orang-orang bertakwa, menjaga dan mewafatkan kita semua di dalam ketakwaan. Sesungguhnya Dialah Zat Yang Maha berkuasa dan Dialah Zat yang maha pengasih lagi maha penyayang.

*Ainun Jariyah*.
[1]. Tafsir Ibnu Abi Haatim, (5/431)
[2] .Jaami’e al Bayaan li Ahkaami al Quran, oleh imam al Qurthubi, (7/132).
[3] .Tafsir al Quran al Adzhiim, (3/359)
[4] HR. Muslim, no. 4468
[5] HR. Bukhari, no. 6764
[6] Penafsiran ini sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Adi bin Hatim -radhiyallahu ‘anhu-. (HR. Tirmidzi, no. 3020)
[7] HR. Bukhari, no. 7145
[8] HR. Abu Daud, no. 1481
[9] HR. Tirmidzi, no. 2706
[10] HR. Muslim, no. 5957
[11] HR. Ahmad, no. 17090, lihat juga “Ghaayatu al Maraam fi Takhriiji Ahaadiits al Halaal wa al Haraam”, oleh syaikh al Baani, no. 284
[12] HR. Ahmad, no. 9784
[13] Lihat bahasan masalah ini pada “Kifaayatu al Mustaziid bi Syarhi Kitaab at Tauhiid”, jilid II, bab “Maa ja’a fi al Kuhhaan Wa Nahwihim”, al Maktabah al Elektroniah, li as Syaikh Shaleh bin Abdil Aziiz Aalu as Syaikh, Vol. 1, www.islamspirit.com.
[14] HR. Tirmidzi, no. 1821
[15] HR. Tirmidzi, no. 3292
[16] Syaikh Muhammad Nashiruddin al Baani berkata, di dalam ‘Silsilah al Ahaadiits ad Dhaiifah’, no. 1727, bahwa hadits ini adalah hadits yang lemah.
[17] HR. Muslim, no. 130
[18] HR. Bukhari, no. 5514
[19] HR. Bukhari, no. 844
[20] Tafsir al Quran al ‘Adzhiim, (6/409)
[21] HR. Abu Daud, no. 478
[22] HR. Abu Daud, no. 480
[23] HR. Muslim, no. 3971
[24] HR. Abu Daud, no. 480
[25] HR. Ahmad, no. 1573
[26] HR. Abu Daud, no. 5144
[27] Lihat “Syarhu az Zaad”, oleh syakh as Syanqithi, (14/104-105)
[28] HR. Ibnu Majah, no. 2764
[29] HR. Bukhari, no. 3714
[30] HR. Abu Daud, no. 4464. Lihat juga “Majmu’ Fataawa ibni Taimiyyah”, (6/391)
[31] Lihat “Kutub wa Rasaail”, oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al ‘Utsaimiin, (16/107)
[32] HR. Al-bukhari, no. 4117
[33] HR Bukhari, no. 6370
[34] HR.Bukhari, no. 2930
[35] HR. Bukhari, no. 344
[36] HR. Bukhari, no. 5333
[37] Lihat “Taysiiru al Kariimi ar Rahmaan Fi Tafsiiri Kalaami al Mannaan”, hal. 229
[38] HR. Bukhari, no. 7285
[39] At Tauqiif ala Muhimmaati at Ta’aariif, oleh Muhammad Abbdul Rauf al Manaawi, hal. 748
[40] Mu’jam Lughati al Fuqahaa, hal. 513
[41] HR, Abu Daud, no. 2875
[42] HR. Abu Daud, no. 4405
[43] HR. Bukhari, no. 2664
[44] HR. Abu Daud, no. 4406
[45] Tafsir Ibnu Katsiir, (2/216)
[46] Al Muwaththa’, (3/432)
[47] HR. Abu Daud, no. 2874
[48] Al Muwaththa’, no. 1670
[49] HR. Ahmad, no. 4225
[50] . H.R At-tirmidzi, no. 2318
[51] Al Jaami’e Li Ahkaami al Quran, (7/139)
[52] Al Jaami’e Li Ahkaami al Quran, (7/141), dan Syu’ab al Imaan, no. 9135
[53] Al Jaami’e li Ahkaami al Quran, (7/141)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories

Pages

Cari Blog Ini

Search

Postingan Populer

Popular Posts

Arsip Blog

Recent Posts