Makna Isti’adzah: Berlindung kepada Allah SWT

TA’UDZ, ta’awudz, atau isti’adzah adalah ucapan a’udzu billahi minasy syaithonir rojim. Artinya, aku berlindung kepada Allah dari (godaan, kejahatan, bisikan) setan yang terkutuk.
Ada beberapa ayat atau nash Alquran yang memerintahkan kita untuk membaca isti’adzah, di antaranya:
“Jika kamu membaca Alquran, maka hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari gangguan setan yang terkutuk” (QS. An-Nahl: 98).
“Jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah, karea sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-A’rof:200).
“Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Fushilat:36).
“Dan katakanlah, wahai Tuhanku, aku berindung kepada-Mu dari bisikan setan dan aku berlindung pula kepada-Mu, wahai Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku” (QS. Al-Mu’minun:97-98)
Perintah berlindung kepada Allah juga terdapat dalam QS. Al-Falaq dan QS. An-Nas.
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan kepada kita, bahwa kita diperintahkan membaca isti’adzah dalam kondisi, antara lain:
1.      Ketika hendak membaca Alquran.
2.      Pada setiap keadaan, khususnya saat merasa khawatir terhadap sesuatu yang ditakuti atau bisikan-bisikan yang mendorong pada kejahatan.
3.      Saat merasa takut dari kejahatan apa pun yang dibuat oleh setan.
***

KALIMAT atau bacaan isti’adzah –seperti a’udzubillahi minasy syaithonir rojim—tidak ada dalam Alquran. Tidak ada ayat khusus dalam Alquran yang mengandung kalimat atau ucapan isti’adzah, seperti halnya kata Amin yang biasa kita ucapkan setelah selesai membaca Surat Al-Fatihah –khususnya dalam sholat. Kata Amin tidak ada di akhir surat Al-Fatihah.
Para ulama sepakat, susunan kalimat isti’adzah bukan nash Alquran, tapi hanyalah pelaksanaan dari perintah Alquran tentang keharusan kita berlindung kepada Allah (isti’adzah). Oleh karena itu, Nabi Saw dan para sahabat sering mengucapkan isti’adzah dengan kalimat berbeda-beda namun maksudnya tetap sama. Para ulama sendiri memilih kalimat yang berbeda-beda dalam melaksanakan isti’adzah ini, misalnya:
  • Imam Syafi’i (pendiri mazhab Syafi’iyah) memilih untuk menggunakan kalimat a’udzubillahi minasy syaithonir rojim (Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk).
  • Imam Ahmad bin Hambal (pendiri mazhab Hambaliyah) lebih suka menggunakan kalimat a’udzu billahis-sami’il ‘alim minasy syaithonirrojim (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar dan Mengetahui dari setan yang terkutuk).
  • Imam Ats-Tsaury (pendiri mazhab Tsauriyah) – a’udzubillahi minasy syaithonir rojim innahu huwas sami’ul ‘alim (Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk sesunggunya Dia [Allah] Maha Mendengar dan Maha Mengetahui).
Selain ketiga macam bacaan isti’adzah tadi, masih ada yang lain. Ada juga ulama yang memilih kalimat:
  • Asta’idzu billahi minasy syaithonir rojim (Aku berlindung kepada Allah dari gangguan setan yang terkutuk).
  • A’udzu billahi minasy syaithonir rojim min hamzihi (Aku berlindung kepada Allah dari gangguan setan yang terkutuk dari bisikannya).
  • Allahumma inni a’udzubika (Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu).
  • Rabbi a’udzubika min hamazatisy syayathin wa a’udzubika robbi an yahdhurun (Wahai Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari goresan setan dan aku berlindung kepada-Mu dari kehadiran mereka).
Bahkan pada permulaan Islam, umat Islam mengucapkan isti’adzah secara ringkas, yaitu mengucapkan ma’adzallah, artinya “Aku berlindung kepada Allah”.
Muncul pertanyaan, mengapa kita harus membaca isti’adzah? Sebabnya, setan merupakan musuh manusia yang paling besar. Karena itu pulalah kita diperintahkan berlindung pada Allah dari godaan dan kejahatan mereka. Setan itu suka menipu manusia dan mendorong niat jahat dalam hati manusia.
***
KINI mari kita lihat makna kata per kata dalam kalimat isti’adzah yang paling populer atau banyak digunakan, khususnya oleh umat Islam Indonesia, yakni a’udzubillahi minasy syaithonir rojim:
A’udzu = aku berlindung. Dari segi Arab (ilmu tashrif), a’udzu (aku berlindung) berasal dari kata a’wudzu, sama seperti af’ulu, aqtulu, atau anshuru. Namun karena ada huruf wawu didhomahkan, sehingga sulit diucapkan, maka disederhanakan menjadi a’udzu, artinya aku berlindung atau aku meminta perlindungan.
Billahi = kepada Allah. Kata Allah adalah nama khusus bagi Dzat Yang Mahapencipta semesta alam. Sebagian ulama, misalnya Imam … berpendapat, Allah berasal dari kata Ilah, artinya Tuhan. Kata Ilah memakai alif-lam di depannya menjadi Allah.
Ada yang menyebutkan, kata Ilah sendiri berasal dari kata alaha-yalahu-ilahun, artinya sesuatu yang disembah. Jadi, apa saja yang disembah oleh manusia disebut Ilah (Tuhan). Namun sebagai ulama berpendapat, Allah bukan berasal dari Ilah, tapi khusus nama bagi Dia saja. Maka, kita pun tidak boleh menggunakan nama Allah, kecuali menggunakan kata depan, misalnya Abdu, sehingga menjadi Abdullah (hamba Allah). Bahkan, sifat-sifat Allah juga tidak boleh digunakan menjadi nama, misalnya Rohman, tapi harus ditambah di depannya, misalnya Abdurrohman (hamba Dzat Yang Maha Penyayang).
Min As-Syaithon = dari setan. Dari segi asal kata, setan berasl dari kata syathona, yasythunu, syaithonan = ba’uda = jauh. Sebab setan adalah makhluk yang dijauhkan Allah dari segala kebajikan.
Ada yang beranggapan, setan berasal dari kata syathin-tasythin, artinya “makhluk yang dijauhkan dari berbagai kejahatan”. Ada juga pendapat, asal kata setan adalah syatho-yasyithu-syaithon. Kesimpulannya, setan adalah “nama bagi segala yang melampuai batas dan selalu mengajak kepada maksiat atau kejahatan, baik dari golongan jin (makhluk halus) maupun golongan manusia.
Ar-Rojim = yang terkutuk, yang dilaknat, atau yang dimurkai. Dari segi bahasa (ilmu tashrif), rojim ini sebenarnya isim fail (subjek), yakni “yang melaknat”. Namun menurut para ulama, rojim ini isim fa’il namun bermakna isim maf’ul (objek), sehingga artinya “yang dilaknat”. Dari asal-usul kata, secara bahasa rojim artinya “segala sesuatu yang dijauhkan dari kebajikan”, juga berarti “yang dilempari”. Itulah sebabnya pula, hukuman dilempari batu bagi yang berzina disebut hukum rajam, artinya hukuman dengan dilempari (batu). Wallahu a’lam.

*Ainun Jariyah*(cpt)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories

Pages

Cari Blog Ini

Search

Postingan Populer

Popular Posts

Arsip Blog

Recent Posts