* Sogok Dan Hadiah *.


A. Salah satu unsur terpenting dalam paralihan harta, menurut ajaran Islam adalah adanya unsur kerelaan. Selain itu (bisa juga termasuk bagiannya), dalam proses peralihannya juga disyaratkan tidak dilakukan dengan cara menentang hukum dan merusak rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Secara tersirat hal itu dapat dipahami dari ayat berikut:
ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا فريقا من أموال الناس بالإثم وأنتم تعلمون (البقرة: 188)
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
Kriteria di atas dirumuskan berdasar ayat sebelumnya dan ayat lain yang senada dengannya. Para ulama pun memformulasikan berbagai jenis transaksi kebendaan yang dibolehkan dan yang dilarang. Namun tetap saja formulasi itu memberikan peluang untuk "berhelah" bagi mereka yang ingin "memuluskan jalan" dalam mencapai tujuan yang hendak diraihnya. Dari beberapa formulasi yang memberikan peluang tersebut adalah hadiah (dalam bahasan ulama fikih dan ulama Hadis dalam bahasan hibaħ) dan risywaħ (sogok).
Dalam hal ini, hadiah sebagai cara perpindahan harta yang sah secara syar'iy, sedang sogok merupakan cara perpindahan harta yang secara ijma' dinyatakan haram oleh para ulama, terutama bagi para hakim dan pejabat (pegawai) Negara. Namun dalam prakteknya, sogok dapat "disamarkan" dengan alasan sebagai hadiah atau hibaħ dari si pemberi kepada si penerima.
Landasan pengharaman sogok tersebut, selain ayat di atas, juga terdapat dalam surat al-Mâ`idaħ [5] ayat 42 dan berbagai hadis lain yang akan dibahas lebih lengkap pada bagian berikut. Dalam ayat 42 surat al-Mâ`idaħ [5] tersebut Allah mengatakan sebagai berikut:
سماعون للكذب أكالون للسحت فإن جاؤوك فاحكم بينهم أو أعرض عنهم وإن تعرض عنهم فلن يضروك شيئا وإن حكمت فاحكم بينهم بالقسط إن الله يحب المقسطين (المائدة: 42)
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.
Ayat ini, sebagai kelanjutan dari ayat sebelumnya (ayat 41) berbicara tentang orang-orang Yahudi yang memang telah terbiasa dengan perilaku sogok menyogok dalam berbagai aktifitas kehidupannya. Lafal yang menunjukkan makna sogok dalam ayat itu adalah al-suht (السحت).

B. Pengertian Sogok dan Hadiah
Sogok dalam bahasa Arab populernya disebut dengan risywaħ (الرِّشْوَةُ), tapi ia terkadang juga dibaca dengan rasywaħ (الرَّشْوَةُ) dan rusywaħ (والرُّشْوَةُ). Ia berasal dari akar kata dengan mashdar al-risyâ` (الرِّشاء) yang berarti "tali yang mengantarkan kepada air di dalam sumur" (الحبل الذي يتوصل به إلى الماء في البئ). Al-'Azhim Abadiy memberikan makna lughawiy sederhana terhadap kata ini. Menurutnya, risywaħ itu berarti "pemberian terhadap seseorang" (أعطاء إياها).
Sedang secara terminologis, menurut Ibn al-Atsir, seperti yang disebutkan oleh Ibn al-Manzhur, ia berarti "Upaya mencapai tujuan dengan cara mengambil hati atau membujuk" (الوُصْلَةُ إلى الحاجة بالمُصانعة). Selain mengemukakan makna yang sama, al-'Azhîm Abadiy juga menyebutkan makna isthilahiy lain, yaitu "Suatu pemberian yang bertujuan untuk membatalkan yang hak atau mengukuhkan yang bâthil" (ما يعطى لإبطال حق أو لإحقاق باطل).
Ibn Qudamah mendefinisikannya dengan "Suatu pengeluaran yang bertujuan merubah keputusan dari yang benar atau menghindari dari keputusan yang benar" (ما يبذل له ليحكم بغير الحق أو ليمتنع من الحكم بالحق). Ibn Hajar mengemukakan dua pengertian terhadap risywaħ itu. Pertama, pengertian yang bersifat sangat umum, yaitu "Sesuatu yang dipungut tanpa pengganti dan memberi aib orang yang mengambilnya" (ما يؤخذ بغير عوض ويعاب أخذه). Kedua, pengertian yang berasal dari Ibn 'Arabiy, yaitu "Setiap harta yang dibelanjakan seseorang untuk memperoleh bantuan terhadap hajatnya dengan cara tidak halal" (كل مال دفع ليبتاع به من ذي جاه عونا على ما لا يحل).
Dari beberapa pengertian di atas terlihat bahwa unsur dominant dalam risywaħ adalah adanya pemberian dengan tujuan membatalkan atau menghalangi pelaksanaan yang hak.
Kata hadiyyaħ (هدية) merupakan sinonim dari kata tuhfaħ (تُحفةَ) atau ithâf (إتْحَافًا) dan it-hâfah (إتْحَافةً) yang berarti "memberi hadiah". Dengan makna seperti inilah lafal hadiah dalam ayat berikut dapat dimaknai dengan tepat.
وإني مرسلة إليهم بهدية فناظرة بم يرجع المرسلون (35)
Ibn Qudamah menegaskan bahwa hibaħ, sedekah, hadiah, pemberian memiliki makna yang berdekatan, yaitu "Pemilikan sesuatu tanpa pengganti dalam kehidupan dunia". Untuk itu, maka pemberian (العطية) adalah nama yang mencakup semua pemilikan tanpa ganti itu. Hibaħ sendiri secara bahasa berarti "Nama bagi sesuatu yang diberikan" (الاسم المَوهِبُ). Sedang secara istilah, menurut al-Kasaniy, hibaħ berarti "Pemilikan sesuatu pada saat ini tanpa ada pengganti" (تمليكها للحال من غير عوض). Sedang menurut al-San'aniy hibaħ adalah "Pemilikan suatu benda ketika hidup dengan menggunakan akad tanpa pengganti yang jelas" (تمليك عين بعقد على غير عوض معلوم في الحياة).
Walau tidak persis menjelaskan makna hadiah, tapi berdasarkan beberapa pengertian hibah di atas, dapat disimpulkan bahwa hadiah adalah penyerahan kepemilikan suatu benda dari seseorang kepada orang lain tanpa pengganti.
Menurut Ibn al-Qayyim, seperti dikutip oleh al-Munawiy, perbedaan penting antara sogok dengan hadiah terletak pada motivasi atau maksud pelaku dua tindakan tersebut. Motivasi penyogok dalam melakukan perbuatannya adalah untuk membatalkan pelaksanaan yang hak dan digantikan oleh yang bâthil, dan perbuatan seperti itulah yang dilaknat oleh Nabi SAW. Sementara pemberi hadiah lebih sering untuk mempererat hubungan baik. Dari sinilah kemudian popular istilah yang menyebutkan bahwa "uang suap memuluskan semua yang bâthil" (البراطيل تنصر الأباطيل).

C. Analisis Tematik terhadap Hadis tentang Sogok (Risywaħ)
Ada beberapa hadis popular yang menjelaskan tentang sogok menyogok ini. Diantaranya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ (رواه الترمذي كتاب الأحكام)
Hadis senada juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Bâqiy Musnad al-Mukatstsirîn. Menurut al-Turmudziy, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah ini merupakan hadis hasan shahih. Namun demikian, al-Turmudziy menyebutkan bahwa hadis yang senada dengan ini juga diriwayatkan dari Ibn 'Umar dan dari Abi Salamah, dan terhadap hadis yang diriwayatkan dari dua orang terakhir ini dinyatakan oleh 'Abdullah bin 'Abd al-Rahman sebagai hadis yang paling utama dan paling shahih sehubungan dengan persoalan sogok menyogok ini (أَحْسَنُ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ وَأَصَحُّ).
Menurut Kafuriy, hadis yang berasal dari Ibn 'Umar (isinya sama dengan hadis yang telah disebutkan di atas) yang ditakhrij oleh Imam al-Turmudziy telah dinyatakan shahih oleh Abu Dâwud dan Ibn Mâjaħ. Sedang Imam al-Syawkaniy mengatakan hadis Ibn 'Umar tersebut juga telah ditakhrij oleh Imam Ibn Hibban, Imam al-Thabraniy dan Imam al-Dâruquthniy. Hadis itu dinyatakan kuat oleh Imam al-Dârimiy, sementara sanadnya tidak mengandung cela.
Imam Ahmad juga meriwayatkan hadis senada, tapi dalam hadis ini Rasulullah tidak membatasi laknat itu hanya bagi si pemberi dan penerima sogok; juga termasuk perantara terjadinya sogok. Hadis tersebut berbunyi:
حَدَّثَنَا الْأَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ يَعْنِي ابْنَ عَيَّاشٍ عَنْ لَيْثٍ عَنْ أَبِي الْخَطَّابِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا (رواه أحمد)
Hadis di atas merupakan hadis marfu' muttasil yang hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad wahid. Dalam hadis itu Imam Ahmad memberikan tambahan yang berbunyi يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا. Yang dimaksud dengan al-râsyiy (الرَّاشي) adalah seseorang yang memberikan sesuatu dengan tujuan yang bâthil (والراشي هو الذي يبذل المال ليتوصل به إلى الباطل) dan al-murtasyiy (المُرْتَشي) adalah orang yang menerima pemberian itu. Al-râ`isy (الرَّائش) sendiri berarti perantara yang melakukan penambahan atau pengurangan terhadap sesuatu (dengan cara yang bâthil).
Al-'Azhîm Abadiy membatasi bahwa pemberian yang dilakukan untuk memperoleh sesuatu yang hak atau menghindari terjadinya kezaliman bukanlah termasuk dalam kategori risywaħ. Hal itu didasarkannya pada sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa Ibn Mas'ud dihadiahi sebidang tanah sebagai pemberian dari negara, lalu beliau memberikan uang sebanyak dua dinar hingga peralihan kepemilikan tanah itu menjadi lancar. Kebanyakan para Tabi'in membolehkan membujuk (orang lain) supaya dirinya dan hartanya terpelihara dari perbuatan zalim. Lebih lanjut al-'Azhîm Abadiy mengatakan bahwa kebolehan itu hanya berlaku dalam hal yang berada di luar bidang peradilan (القضاة) dan pemerintahan (الولاة). Karena dalam dua bidang ini, penyerahan hak kepada yang berhak dan penyelamatan seseorang dari tindakan kezaliman merupakan kewajiban bagi para hakim dan penguasa, tidak ada hubungannya sama sekali dengan hadiah yang diberikan oleh orang-orang yang berhak dan orang-orang yang dizalimi itu. Oleh karena itu, para hakim dan para penguasa tidak dibolehkan menerima hadiah, dalam bentuk apapun. Terutama kalau hadiah itu memiliki kaitan dengan pelaksanaan tugasnya.
Dua hadis sebelumnya hanya memberikan sanksi terhadap pemberi, penerima dan perantara sogok. Kedua hadis itu belum memberikan gambaran cukup jelas tentang perbuatan yang bisa disebut sebagai sogok. Sebagai salah satu contoh kasus perbuatan sogok pada masa Rasulullah SAW diriwayatkan oleh Imam Malik sebagai berikut:
و حَدَّثَنِي مَالِك عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبْعَثُ عَبْدَ الله بْنَ رَوَاحَةَ إِلَى خَيْبَرَ فَيَخْرُصُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ يَهُودِ خَيْبَرَ قَالَ فَجَمَعُوا لَهُ حَلْيًا مِنْ حَلْيِ نِسَائِهِمْ فَقَالُوا لَهُ هَذَا لَكَ وَخَفِّفْ عَنَّا وَتَجَاوَزْ فِي الْقَسْمِ فَقَالَ عَبْدُ الله بْنُ رَوَاحَةَ يَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ وَالله إِنَّكُمْ لَمِنْ أَبْغَضِ خَلْقِ الله إِلَيَّ وَمَا ذَاكَ بِحَامِلِي عَلَى أَنْ أَحِيفَ عَلَيْكُمْ فَأَمَّا مَا عَرَضْتُمْ مِنَ الرَّشْوَةِ فَإِنَّهَا سُحْتٌ وَإِنَّا لَا نَأْكُلُهَا فَقَالُوا بِهَذَا قَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ (رواه مالك فى كتاب المساقة)
Riwayat di atas merupakan hadis marfu' dan mursal yang hanya diriwayatkan oleh Imam Malik dengan sanad wahid. Dari hadis ini dapat dipahami bahwa sebetulnya di dalam Tawrat juga telah terdapat pelarangan memakan sogok, tapi orang-orang Yahudi tetap melanggar ketentuan tersebut. Mereka sendiri juga mengakui bahwa بِهَذَا قَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ, yang berarti dengan kebenaran dan keadilan seperti inilah langit akan berdiri di atas kepala tanpa tiang, dan daratan akan terbentang kokoh di atas air, di bawah telapak kaki.
Kalau dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik di atas terlihat jelas unsur sogoknya, di mana orang Yahudi Khaybar itu mengemukakan syarat dalam penyerahan harta kepada Ibn Rawahah supaya ia "memperlonggar" penerapan kesepakatan yang telah dilakukan dengan Rasulullah SAW pada waktu penaklukan Khaybar, maka pada kasus yang dialami oleh Ibn al-Atbiyyah (yang diutus Nabi ke Bani Azd untuk memungut zakat) tidak terlihat sama sekali adanya unsur sogok. Bani Azd hanya memberikan hadiah kepadanya, tapi justru itulah yang membuat Nabi SAW marah. Lengkapnya hal itu terlihat dalam hadis berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ اسْتَعْمَلَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنَ الْأَزْدِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ الْأُتْبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ قَالَ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ خَطَبَنَا فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي الله فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ إِنْ كَانَ صَادِقًا وَالله لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ تَعَالَى يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ الله يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ بَصُرَ عَيْنِي وَسَمِعَ أُذُنِي (رواه مسلم كتاب الإمارة)
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâriy dalam Kitab al-Hayl, dan dalam Kitab al-Ahkâm. Terhadap ungkapan yang dikemukakan oleh Ibn al-Atbiyyah di atas (وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي), sebagian ulama mengatakan hal itu hanyalah sebagai hîlaħ (حيلة) untuk pembolehan sogok yang telah diterimanya. Kalau seseorang yang dipercayakan sebagai petugas negara (العامل), dalam kasus yang di atas adalah Ibn al-Atbiyyah, tidak menyebutkan secara terus terang apa yang diterimanya dalam pelaksanaan tugas, maka hal itu disebut sebagai "korupsi" (ghulûl; الغلول), karena makna ashl ghulûl itu sendiri adalah khianat dalam harta ghanimah, tapi kemudian kata itu digunakan terhadap semua jenis pengkhianatan (tentunya yang berkaitan dengan harta). Penjelasan Nabi SAW dalam khutbahnya (dalam hadis di atas) merupakan sanksi bagi para pelaku korupsi itu.
Makna kata shadaqaħ yang digunakan dalam ayat itu, seperti dijelaskan al-Bukhâriy, adalah zakat. Oleh karena itu lafal yang berbunyi هذا لكم dalam hadis itu berarti semua zakat yang aku kumpulkan yang akan diserahkan kepada orang-orang fakir yang berhak. Sedang lafal منها (dalam riwayat al-Bukhâriy منه) dalam kalimat Nabi لا يأخذ أحد منها شيئا berarti harta yang dihadiahkan kepada seseorang karena pelaksanaan tugas yang diserahkan kepadanya.
Dengan hadis ini kelihatan bahwa semua pemberian yang diterima seseorang, dan pemberian itu memiliki hubungan dengan pelaksanaan tugasnya, hukumnya adalah haram. Kalau ia tetap menerima pemberian itu, maka sama artinya ia telah melakukan korupsi, yang ancamannya adalah membawa (mengembalikan) semua barang tersebut secara utuh di akhirat nanti.
Di samping hadis di atas, Nabi SAW juga pernah menegaskan bahwa semua hadiah yang diberikan kepada pejabat dan pegawai negara adalah ghulûl. Hal itu selengkapnya dapat dilihat dalam hadis berikut:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ (رواه أحمد)
Dalam kitab 'Umdah al-Qariy disebutkan bahwa matan hadis itu berbunyi: هدايا الأمراء غلول. Menurut Ibn Hajar, sanad hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad di atas adalah dha'if. Hal senada juga dikemukakan oleh al-Hafizh al-'Iraqiy, seperti disebutkan oleh al-Munawiy. Menurut sebagian ulama, hadis ini diriwayatkan secara makna sehubungan dengan kasus Ibn al-Atbiyyah di atas.
Dengan hadis ini semakin jelas bahwa para pejabat dan pegawai negara diharamkan menerima hadiah terhadap pelaksanaan tugas yang diembankan kepadanya. Sedang untuk para hakim sendiri, karena persoalan sogok ini biasanya jadi bagian dari bahasan Adab al-Qâdhiy dalam berbagai kitab fikih, ditemukan sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa seorang hakim atau qâdhiy, apabila memakan (menerima) hadiah, maka itu sama artinya ia telah memakan al-suht (sogok). Secara lengkap riwayat tersebut berbunyi sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا خَلَفٌ يَعْنِي ابْنَ خَلِيفَةَ عَنْ مَنْصُورِ بْنِ زَاذَانَ عَنِ الْحَكَمِ بْنِ عُتَيْبَةَ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ الْقَاضِي إِذَا أَكَلَ الْهَدِيَّةَ فَقَدْ أَكَلَ السُّحْتَ وَإِذَا قَبِلَ الرِّشْوَةَ بَلَغَتْ بِهِ الْكُفْرَ وَقَالَ مَسْرُوقٌ مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَقَدْ كَفَرَ وَكُفْرُهُ أَنْ لَيْسَ لَهُ صَلَاةٌ (رواه النسائي)
Riwayat ini hanya dari al-Nasâ`iy dan ia termasuk kategori atsar maqthû'. Namun demikian, dikaitkan dengan berbagai hadis sebelumnya, substansi riwayat ini dapat diterima kebenarannya. Sebab dengan kesediaannya menerima hadiah, apalagi kalau sampai berharap, dikhawatirkan ia tidak lagi akan memutus perkara secara benar dan objektif. Apalagi kalau para pihak yang berkasus adalah orang-orang yang pernah memberinya hadiah. Untuk menghindari hilangnya objektifitas dalam penyelesaian perkara ini, dalam berbagai kitab fikih disebutkan bahwa para hakim dilarang menghadiri walimah atau pesta perkawinan yang diadakan oleh orang-orang yang perkaranya tengah mereka tangani. Malah dalam kitab al-Iqna` disebutkan bahwa sang hakim juga dilarang meminjam kepada siapapun, karena manfaat (non-material) memiliki fungsi yang sama dengan benda-benda material. Ia juga tidak diizinkan menerima hadiah yang ditujukan bukan kepada dirinya sendiri, misalnya kepada anak atau isterinya, karena hal itu merupakan salah satu cara yang bisa mengantarkan kepada sogok kepada dirinya.

D. Analisis Tematik terhadap Hadis tentang Hadiah (Hibaħ)
Dalam berbagai kitab fikih populer, seperti diulas oleh al-Qurthubiy, disebutkan bahwa Nabi SAW bersedia menerima hadiah, tapi beliau menolak untuk menerima sedekah dan zakat. Kesedian Nabi SAW menerima hadiah disebutkan juga oleh Imam Abu Dâwud dalam hadis berikut berikut:
حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَلَا يَأْكُلُ الصَّدَقَةَ (رواه أبو دواود في كتاب الديات)
Hadis di atas merupakan hadis marfu' muttashil dengan sanad wahid. Hadis senada juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnad Bâqiy Musnad al-Mukatstsirîn. Menurut kebanyakan ahl al-'ilm (ulama), keharaman sedekah buat nabi itu bukan hanya sedekah mafrûdhaħ (zakat), tetapi juga termasuk sedekah tathawwu'. Terhadap hadis ini, al-Nimriy berkomentar bahwa hadiah merupakan salah satu perbuatan orang-orang mulia, shaleh, dan terhormat. Para ulama menyenangi (menganggap baik) hal itu selama tidak berubah atau berindikasi sogok.
Walau hadis di atas menyebutkan bahwa Nabi SAW bersedia menerima hadiah, tapi ternyata tidak seluruh hadiah yang diterima Rasulullah SAW. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dâwud disebutkan bahwa beliau pernah menolak hadiah lengan hewan buruan yang diberikan seseorang.
حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ قَيْسٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ يَا زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ هَلْ عَلِمْتَ أَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُهْدِيَ إِلَيْهِ عَضُدُ صَيْدٍ فَلَمْ يَقْبَلْهُ وَقَالَ إِنَّا حُرُمٌ قَالَ نَعَمْ (رواه أبو داود كتاب المناسك)
Menurut Syekh al-Baniy, hadis ini shahîh. Hadis ini mengandung kerancuan, di mana pernyataan haramnya hewan buruan tidak sejalan dengan berbagai nas yang lain. Oleh karena itu, sebagian ulama menakwilkannya bahwa yang dihadiahkan kepada Nabi SAW itu adalah lengan himar. Karena kerancuan itu, maka kebanyakan ulama menganggap hadis itu marfu'.
Sebagai sebuah perbuatan yang mengandung nilai kebaikan, Nabi SAW sangat menganjurkan agar umatnya saling memberi hadiah. Hal itu termuat dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik berikut:
حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي مُسْلِمٍ عَبْدِ الله الْخُرَاسَانِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَصَافَحُوا يَذْهَبِ الْغِلُّ وَتَهَادَوْا تَحَابُّوا وَتَذْهَبِ الشَّحْنَاءُ (رواه مالك)
Hadis ini merupakan hadis muttasil yang mencapai tingkat hasan. Dengan hadis ini, maka saling memberi hadiah menjadi sesuatu yang dianjurkan buat umat Islam, karena hadiah itu akan mempererat hubungan kasih sayang dan menjauhkan rasa permusuhan.
Dalam berbagai versi lain, hadiah sendiri memang dikaitkan dengan suatu perbuatan yang dirasakan manfaatnya oleh si pemberi hadiah. Misalnya dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dâwud disebutkan bahwa 'Ubadah bin Shamit pernah mengajarkan al-Qur'an kepada ahl shuffaħ, dan mereka memberikan kaus kaki sebagai hadiah kepadanya. Terhadap hadiah itu, 'Ubadah menanyakannya kepada Nabi SAW, dan beliau menyuruhnya menerimanya. Lengkapnya kisah itu dapat dilihat dalam hadis berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ وَحُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الرُّوَاسِيُّ عَنْ مُغِيرَةَ بْنِ زِيَادٍ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ نُسَيٍّ عَنِ الْأَسْوَدِ بْنِ ثَعْلَبَةَ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ عَلَّمْتُ نَاسًا مِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ الْكِتَابَ وَالْقُرْآنَ فَأَهْدَى إِلَيَّ رَجُلٌ مِنْهُمْ قَوْسًا فَقُلْتُ لَيْسَتْ بِمَالٍ وَأَرْمِي عَنْهَا فِي سَبِيلِ الله عَزَّ وَجَلَّ لَآتِيَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَأَسْأَلَنَّهُ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ أَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا مِمَّنْ كُنْتُ أُعَلِّمُهُ الْكِتَابَ وَالْقُرْآنَ وَلَيْسَتْ بِمَالٍ وَأَرْمِي عَنْهَا فِي سَبِيلِ الله قَالَ إِنْ كُنْتَ تُحِبُّ أَنْ تُطَوَّقَ طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا (رواه أبو داود كتاب البيوع)
Hadis ini sebetulnya lebih banyak dibahas dalam persoalan mengambil upah untuk mengajarkan al-Qur'an, dan ia bertentangan dengan hadis berikut:
عن أبي الدرداء أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من أخذ قوسا على تعليم القرآن قلده الله قوسا من نار (رواه البيهقي)
Oleh karena keterbatasan ruang dan waktu, penulis tidak akan membahas hadis ini terlalu dalam. Hanya saja perlu disebutkan bahwa pemberian yang dikaitkan dengan suatu pekerjaan ini bukanlah termasuk dalam kategori hadiah, tapi termasuk dalam kategori upah.
Dalam beberapa hadis di atas kelihatan bahwa ada pertentangan antara anjuran untuk saling memberi hadiah dengan larang menerima hadiah. Menurut sebagian ulama, larangan menerima hadiah itu dinasakh oleh hadis yang menyuruh untuk saling memberi hadiah. Tetapi jumhur ulama mengatakan dalam hal itu tidak terjadi nasakh mansûkh sama sekali. Menurut mereka, Nabi SAW bersedia menerima hadiah hanyalah dari benda fay`. Selain itu, beliau menerima hadiah dari orang-orang yang keislamannya telah mantap dan hal itu bertujuan untuk kemaslahatan umat. Sedang hadiah dari orang yang belum mantap keislamannya (musyrik) beliau tolak, karena kemaslahatan dalam hal itu kecil sekali. Sedang buat selain Nabi SAW (umatnya), para hakim, penguasa, pegawai dan pemegang kepentingan umum tidak dihalalkan menerima hadiah. Karena hadiah yang mereka terima, bisa dipastikan, disebabkan karena kewenangan yang tengah mereka pegang. Ini merupakan pendapat al-Awza'iy, Muhammad bin Hasan (murid Abu Hanîfaħ), Ibn al-Qasim, Ibn Habib. Sementara kesediaan beliau menerima hadiah dari ahl kitab, menurut Qadhiy 'Iyadh, tidak bisa dikatakan bertentangan dengan hadis-hadis di atas, karena di dalam al-Qur'an sendiri telah dibolehkan memakan sembelihan ahl kitab, menikahi mereka, dan hal itu tidak berlaku sebaliknya.

E. Korelasi Hadiah dengan Sogok
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa hibaħ, sedekah, hadiah dan pemberian pada hakikatnya memiliki makna yang berdekatan. Perbedaan dan perubahan status hukumnya sangat dipengaruhi oleh niat si pemberi dan status sosial si penerima. Pemberi hadiah biasanya memang selalu bermaksud menimbulkan rasa kasih sayang, pertolongan atau simpati dari penerima hadiah. Oleh karena itu, ia menjadi diharamkan bagi para hakim, penguasa, pegawai dan para pemegang wewenang yang berhubungan dengan kemaslahatan orang banyak (seperti mufti, petugas pasar, muazzin, imam shalat, tenaga pengajar dan lain-lain). Al-Qurthubiy menyebutkan bahwa kalau suatu hadiah diterima karena "sesuatu" yang lain, maka ia berubah menjadi sogok. Konsekwensi berikutnya, hal itu berarti telah memperjual belikan yang hak dengan yang bâthil.
Karena hadiah yang diberikan kepada orang yang "berkuasa" bermotiv mengambil simati, maka hadiah itu dianggap sama dengan sogok. Memang sebagian ulama membolehkan "penguasa" (seringkali dikhususkan buat hakim) menerima hadiah kalau hal itu sudah menjadi kebiasaannya dengan orang yang memberi hadiah semenjak sebelum ia menjadi "penguasa". Namun tetap saja pemberian itu dianjurkan agar dilakukan secara tertutup. Tapi, kalau orang yang telah "biasa" itu memberikan hadiah ketika ia sedang memiliki kasus yang tengah ditangani "penguasa" itu, maka hadiahnya itu haram diterima. Semua ini merupakan pendapat ulama Syâfi'iyyaħ, ulama Hanafiyyaħ.
Untuk menghindari terjadinya penyogokan terhadap orang-orang tersebut, maka mereka digaji dengan harta negara dari perbendaharaan negara (Bayt al-Mâl). Kalau seandainya perbendaharaan nagara tidak memadai, maka dilakukan efektifitas dan efisiensi pegawai yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak itu. Dalam sebuah sya'ir disebutkan sebagai berikut:
إذا أتت الهدية دارقوم ... تطايرت الأمانة من كواها
Ibn Qudamah menukilkan sebuah perkataan bijak yang berasal dari Ka'ab yang menyebutkan bahwa "sogok membuat bodoh orang penyantun dan membutakan orang bijak" (الرشوة تسفه الحليم وتعمي عين الحكيم). Barangkali berdasarkan hal itulah 'Umar bin 'Abd al-'Aziz mengatakan:
وَقَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِالْعَزِيزِ كَانَتِ الْهَدِيَّةُ فِي زَمَنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَدِيَّةً وَالْيَوْمَ رِشْوَةٌ (صحيح البخاري كتاب الهبة)
Perkataan lengkap 'Umar bin 'Abd al-'Aziz di atas, menurut al-Namiriy, adalah "Hadiah yang diberikan kepada Rasulullah SAW (pada masanya) adalah (betul-betul) hadiah, tetapi hadiah yang diberikan kepada kita saat ini adalah sogok" (إن الهدية كانت للنبي صلى الله عليه وسلم هدية وهي لنا اليوم رشوة).


F. Penutup
Selama ini kita hanya mengenal niat sebagai penentu amal seseorang. Tapi ternyata status sosial juga mengubah nilai dari amal yang dilakukan oleh orang itu sendiri dan orang lain terhadapnya. Hadiah dengan niat tulus bisa berubah menjadi sogok ketika diberikan kepada orang yang berstatus "menentukan" di tengah masyarakatnya.
Wallâhu A'lam bi al-Shawâb.
*Ainun Jariyah*.(cpt).
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories

Pages

Cari Blog Ini

Search

Postingan Populer

Popular Posts

Arsip Blog

Recent Posts