*Islam menekankan banyak menangis*.



Telah disebutkan bahwa diantara penyebab tangis ialah rasa takut. Sedangkan rasa takut yang paling mulia ialah takut kepada Allah swt. Tentu saja takut kepada Allah swt berbeda dengan takut kepada selain-Nya. Takut kepada selain Allah swt. akan menyebabkan seseorang akan menjauh darinya, seperti takut pada ular, atau hewan liar lainnya, atau takut kepada orang yang zalim dan jahat. Sedangkan takut kepada Allah swt. justru akan menyebabkan seseorang berusaha untuk mendekatiNya. Berkaitan dengan itu, simaklah doa di bawah ini,

يا من يفرّ اليه الخائفون

Wahai Dzat dimana orang yang takut akan lari (mendekat) kepada-Nya

Berikut ini beberapa Ayat Al-Quran yang memuji orang-orang yang menangis karena takut kepada Allah swt:
إِنَّ الَّذِينَ أُوتُواْ الْعِلْمَ مِن قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِن كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولاً .وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا

Orang-orang yang telah diberi ilmu sebelumnya, jika dibacakan kepada mereka (Ayat-Ayat Allah) mereka tersungkur bersujud dengan dagu mereka. Mereka berkata, Maha Suci Tuhan kami, tak lain janji Tuhan kami pasti terlaksana. Mereka tersungkur dengan dagu mereka dan menangis serta bertambah khusyu’ (Al-Isra 107 – 109).

Dalam Surat Maryam Ayat 58, setelah menyebut keutamaan para Nabi dari keturunan Adam; Nuh dan Ibrahim, serta keturunan mereka berdua seperti para Nabi dari Bani Israel, Allah swt. mengatakan bahwa mereka itu adalah orang yang selalu tersungkur bersujud serta menangis jika dibacakan kepada mereka firman-firman-Nya.

Dalam Surat Hud Ayat 75, Allah swt memuji Nabi Ibrahim as dengan firman-Nya:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَحَلِيمٌ أَوَّاهٌ مُّنِيبٌ

Sesungguhnya Ibrahim itu berhati lembut, sering bersedih dan bertaubat

Dalam bahasa Arab (أَوَّاهٌ) artinya orang sering mengucapkan aaah atau oooh ketika bersedih.

Tangis Nabi saww.

1. Rasulullah saww. menangis ketika menjenguk Sa’ad bin Ubadah yang sedang sakit, dan orang-orang pun ikut menangis. Lalu beliau berkata, “Tidakkah kalian mendengar? Allah tidak mengadzab seseorang karena tetesan air mata, tidak pula karena kesedihan hati. Akan tetapi Allah mengadzab atau merahmati seseorang karena ini (beliau menunjuk ke lidah beliau) ”.

2. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim, juga Sunan Abi Dawud dan Ibn Majah: Anas berkata, “Kami masuk bersama Rasulullah saww., sementara Ibrahim (putra Rasul Allah saw) dalam keadaan sakratul maut. Wajah Rasulullah saww. basah dengan linangan air mata. Melihat itu, Abdurrahman bin Auf berkata, “Engkau, ya Rasul Allah, (menangis) ?” Beliau menjawab, “Wahai Ibnu Auf, ini adalah rahmat.” Kemudian beliau menjelaskan lagi, “Mata menangis, hati bersedih, tapi kita tidak mengucapkan apa pun kecuali yang diridhai oleh Allah. Dan kami sangat sedih dengan perpisahanmu, wahai Ibrahim.”

3. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim, juga Sunan Abu Dawud dan Nasâi, diriwayatkan bahwa salah seorang putri Rasulullah saww. mengutus seseorang kepada beliau memberitakan bahwa anaknya meninggal, seraya meminta kepada beliau agar datang untuk melihat. Rasulullah segera berangkat dan ditemani oleh Sa’ad bin Ubadah dan beberapa sahabat lainnya. Jenazah anak itu diserahkan kepada Rasulullah yang sedang menagis terisak-isak, dan air mata beliau jatuh berderai. Sa’ad berkata, “Apa ini, wahai Rasul Allah?”. Beliau menjawab, “ Ini adalah rahmat, yang Allah ciptakan di dalam hati hamba-hamba-Nya. Allah hanya menyayangi hamba-Nya yang penyayang”.

4. Tangis Rasulullah saww. untuk paman beliau, Hamzah bin Abdul Muthalib. Dalam kitab Thabaqât Al-Kubrâ karya Ibnu Sa’ad dan Maghâzî Al-Wâqidi dikisahkan bahwa setelah perang Uhud, Rasulullah saww. mendengar tangisan kaum perempuan Anshar yang menangisi keluarga mereka yang gugur syahid. Lalu Rasulullah saw berkata, “Akan tetapi Hamzah tidak ada yang menangisinya ”. Mendengar ucapan beliau itu, Sa’ad bin Muâdz mengajak kaum perempuan dari Bani Abdul Asyhal agar berkumpul untuk menangisi paman Nabi itu, yakni Hamzah ra. Sejak saat itu, setiap kali mereka akan menangisi mayit maka mereka memulai dengan menangisi Hamzah.

5. Rasulullah saww. juga menangisi para syuhada yang gugur dalam perang mu’tah. Beliau telah lebih dahulu mengetahui gugurnya Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawâhah dan memberitahukan hal itu kepada penduduk Madinah dengan berlinangan air mata.

6. Secara khusus demi Ja’far bin Abi Thalib, Rasulullah saww. mengumpulkan anak-anak Ja’far. Beliau menciumi mereka seraya kedua mata beliau bercucuran air mata. Asmâ, istri Ja’far bertanya, “Apa yang membuatmu menangis ?, Apakah berita tentang Ja’far dan pasukannya telah sampai kepadamu? “. Rasulullah saww. menjawab, “Benar, mereka semua (para panglima itu) telah gugur hari ini.” Asmâ pun bangun dan berteriak lalu mengumpulkan kaum perempuan. Fatimah as masuk dalam keadaan menangis seraya berseru, “Aduhai pamanku.” Rasulullah saww. berkata, “Menangislah orang yang akan menangis untuk orang seperti Ja’far ”.

7. Dalam Shahih Muslim dan lain-lain, dari Abu Hurairah diriwayatkan bahwa Rasulullah saww. berziarah ke pusara ibunda beliau. Di situ beliau menangis, sehingga membuat semua orang yang bersama beliau ikut menangis.

Rasulullah saww. Menangisi Cucu Beliau Imam Husein as
Dari Ummu Fadl binti Hârits, bahwa dia menjumpai Rasulullah saww. dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku melihat mimpi yang aneh tadi malam”. Rasulullah bertanya, “Apa mimpimu itu ?”, Dia berkata, “Mimpi itu sangat menyeramkan ”. Rasulullah saww. kembali bertanya, “Apa mimpimu itu ?”. Dia berkata, “Aku melihat sebagian dari tubuhmu terpotong dan jatuh ke pangkuanku ”. Lalu Rasulullah saww. mengatakan, “Engkau telah bermimpi baik. Fatimah akan segera melahirkan anak lelaki – insya Allah – dan anak itu akan berada di pangkuanmu ”. Ketika Fatimah as. melahirkan Al-Husein as, maka sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah saww., anak itu aku letakkan di pangkuanku. Suatu hari aku menjumpai Rasulullah saww. dan aku meletakkan bayi tersebut ke pangkuan beliau. Ketika aku menoleh kepada beliau, aku melihat kedua mata beliau mencucurkan air mata. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, ada apa denganmu ?”. Beliau menjawab, “ Tadi Jibril as. datang dan memberitakan kepadaku bahwa umatku akan membunuh putraku ini ”. Aku terkejut dan bertanya, “Putramu ini ?”. Beliau menjawab, “Ya, putraku ini. Dan Jibril memberiku tanah dari tanahnya, berwarna merah.”
Hakim berkata, “Hadits ini shahih menurut syarat-syarat dua tokoh Ahli Hadis (Bukhari dan Muslim), namun keduanya tidak mengeluarkannya”. Riwayat seperti ini banyak kita temukan dalam kitab-kitab hadits maupun kitab tarikh yang mu’tabar dari kalangan para ulama Ahlus sunnah.

Riwayat yang Melarang Menangisi Orang Mati

Para ulama dan ahli tahqiq dengan sepakat mengatakan bahwa riwayat-riwayat yang melarang menangisi orang yang meninggal dunia itu bersumber dari Umar bin Khattab dan anaknya, Abdullah bin Umar. Dalam Shahih Muslim dan Sunan Nasâi diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Hafsah menangisi Umar (ketika akan meninggal). Lalu Umar berkata, “Diamlah anakku. Tidak lah kamu mengetahui bahwa Rasulullah saww. bersabda bahwa mayit diadzab karena tangisan keluarganya ”.

Masih ada beberapa riwayat lain dari Umar dan Abdulah bin Umar yang berkenaan dengan masalah ini. Akan tetapi Aisyah menolak yang demikian itu, dan mengatakan bahwa kedua orang itu lupa atau keliru dalam masalah ini. Abdullah bin Abbas dan sejumlah sahabat lain juga menentang madzhab Umar dan putranya ini. Mereka berdalil dengan Ayat 164 Surat Al-An’am, yang artinya, “Orang yang berdosa tidak menanggung dosa yang dilakukan oleh orang lain.” Maksudnya ialah bahwa seseorang tidak akan menanggung perbuatan dosa orang lain kecuali dosanya sendiri. Jika menangisi orang yang meninggal adalah dosa maka dosa tersebut seharusnya ditanggung oleh orang yang menangis, bukan oleh orang yang sudah meninggal.

Dalam masalah ini memang terjadi perbedaan tajam antara Umar dan Aisyah. Dalam riwayat Thabari, ketika mengisahkan peristiwa-peristiwa tahun 13 H dalam kitab tarikhnya, dengan sanad kepada Said bin Musayyib, berkata, “Ketika Abubakar meninggal Aisyah mengadakan upacara kesedihan (dengan mengumpulkan orang-orang untuk menangisi kepergian ayahnya). Umar bin Khattab datang dan berdiri di depan pintu rumah Aisyah serta melarang orang-orang untuk menangis. Akan tetapi mereka tidak mau berhenti. Maka Umar berkata kepada Hisyam bin Al-Walid, “Masuklah dan keluarkan putri Ibnu Abi Quhafah (yakni, Abu Bakar bin Abu Quhafah) kemari ”. Mendengar kata-kata Umar itu, Aisyah berkata kepada Hisyam, ”Aku melarangmu memasuki rumahku.” Umar berkata kepada Hisyam, “Masuklah, aku telah mengijinkanmu.” Maka Hisyam pun masuk dan menyeret Ummu Farwah, saudara perempuan Abubakar, dan membawanya kehadapan Umar. Umar memukulnya dengan beberapa kali pukulan cambuk, maka kaum perempuan pun berhamburan bubar setelah menyaksikan hal itu.

Yang aneh ialah, Umar yang sedemikian keras melarang menangisi orang yang meninggal, tapi dia membolehkan kaum perempuan Bani Makhzûm menangisi kematian Khâlid bin Walîd. Disebutkan dalam kitab Al-Isti’âb, biografi Khalid, bahwa Muhammad bin Salam mengatakan bahwa tidak ada seorang perempuan pun dari Bani Mughirah kecuali mencukur rambut mereka dan meletakkannya di atas kubur Khalid.

Bahkan Umar sendiri menangisi kematian Nu’man bin Muqarran, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Isti’âb Ibnu Abdil Barr, biografi Nu’man ini, juga disebutkan di bagian pertama juz kedua kitab al Aqdul Farid, bahwa ketika berita kematian Nu’man bin Muqarran sampai kepada Umar bin Khattab, ia meletakkan tangannya di kepala dan berteriak, “(يا أسفاً على النعمان) Aduhai betapa sedih hati ini karena kehilangan Nu’man.” Demikian pula tangisan Umar pada kematian saudaranya bernama Zaid, telah diriwayatkan dengan riwaya yang mutawatir.

Kesimpulan:

Dari semua uraian singkat di atas tadi, jelaslah bahwa menangisi orang yang meninggal dunia, bukan hanya boleh, tetapi malah sesuatu yang disunnhahkan, karenalah Nabi saww .dan para sahabatnya, serta para Imam Ahlul Bait as. menangisi orang yang telah meninggal dunia. Sedangkan larangan menangisi kematian seseorang, bersumber dari dua orang saja, yaitu Umar bin Khattab dan anaknya, Abdullah. Larangan itu dilandasi oleh sebuah riwayat dari Nabi saww. yang mereka riwayatkan, bahwa orang yang meninggal akan diadzab di dalam kuburnya karena ditangisi oleh orang yang masih hidup. Aisyah dan sahabat lain menilai bahwa Umar dan anaknya itu keliru atau lupa akan riwayat dan ucapan Nabi saww. yang sebenarnya berkenaan dengan masalah ini. Lebih dari itu, larangan menangisi mayat juga bertentangan dengan beberapa ayat Al-Quran yang menegaskan bahwa seseorang tidak akan menanggung akibat perbuatan dosa orang lain. Dengan demikian tidak mungkin Nabi saww. mengatakan larangan itu.

Pada kenyataannya, Nabi saww. sendiri menangisi kematian beberapa sahabat beliau, juga menangisi kematian cucu beliau yang gugur syahid di Karbala, padahal peristiwa itu belum terjadi.

Sebetulnya masih banyak yang dapat kita bahas berkenaan dengan masalah ini. Namun kiranya apa yang telah disampaikan di atas cukup jelas untuk menyampaikan maksud dan tujuan dari pembahasan singkat ini.

*Ainun Jariyah*.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories

Pages

Cari Blog Ini

Search

Postingan Populer

Popular Posts

Arsip Blog

Recent Posts