* HUKUM-HUKUM ISTIHADHAH *.



Makna Istihadhah
Istihadhah ialah keluamya darah terus-menerus pada seorang wanita tanpa henti sama sekali atau berhenti sebentar seperti sehari atau dua hari dalam sebulan.

WANITA yang ditimpa istihadhah hukumnya sama dengan wanita yang suci, tidak ada bedanya kecuali dalam hal berikut:
Pertama: Bila ingin berwudhu wanita yang mengalami istihadhah mencuci kemaluannya dari bekas darah dan menahan keluarnya darah dengan kain.
Kedua: Dalam hal berjima’ dengan istri yang sedang istihadhah, diperselisihkan boleh tidaknya di kalangan ulama. (Risalah fid Dima’ Ath Thabi’iyyah Lin Nisa’, hal. 50)

Jumhur ulama berpandangan, boleh berjima’ dengan istri yang sedang istihadhah. Sementara ada yang berpendapat tidak boleh kecuali bila masa istihadhahnya panjang dan ada yang tidak membolehkan sama sekali karena menyamakan istihadhah dengan haidh. Namun pendapat yang kuat dalam permasalahan ini adalah pendapat jumhur ulama. Karena tidak didapati riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berisi larangan itu, sementara banyak wanita yang mengalami istihadhah pada masa beliau. Seandainya hal itu merupakan syariat Allah Azza wa Jalla, niscaya Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam akan menerangkannya kepada para suami yang istri-istrinya ditimpa istihadhah dan akan dinukilkan hal itu kepada kita sebagai penjagaan terhadap syariat ini.

Selain itu ada ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang umum:
“Istri-istri kalian adalah ladang bagi kalian maka datangilah ladang itu sekehendak kalian.” (Al Baqarah: 223)

Al Imam Al Bukhari rahimahullah membawakan ucapan Abdullah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam kitab Shahih-nya yang maknanya bahwa wanita istihadhah boleh digauli oleh suaminya sebagaimana dibolehkan baginya untuk shalat, sementara shalat itu perkara yang lebih agung. (Shahih Al Bukhari, Kitabul Haidh, bab “Apabila wanita istihadhah melihat dirinya telah suci dari haidh”)

Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani rahimahullah ketika menjelaskan ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ini, berkata: “Yakni bila si wanita yang istihadhah dibolehkan shalat, maka lebih utama lagi dibolehkan berjima’ dengannya karena perkara shalat lebih agung dari perkara jima’.” (Fathul Bari, 1/535)

Bila ada yang memasukkah darah istihadhah dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh, katakanlah darah haidh itu adalah kotoran.” (Al Baqarah: 222)

Maka kita katakan bahwa kata ganti (dhamir): huwa, dalam ayat di atas menunjukkan pengkhususan, yakni darah haidh itu kotoran bukan yang lainnya. Dan di sini tidak diterima qiyas (analogi) karena adanya perbedaan antara darah haidh dengan darah istihadhah pada kebanyakan hukumnya. Demikian diterangkan Asy-Syaikh Muhammad Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Asy Syarhul Mumti’ (1/440).

Karena wanita istihadhah dihukumi sama dengan wanita yang suci, maka tidak ada kewajiban mandi baginya setiap akan menunaikan shalat. Demikian pendapat jumhur ulama yang disebutkan Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim (4/19) dan Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (1/533). Adapun perbuatan Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha yang mandi setiap kali akan shalat sebagaimana riwayatnya dibawakan oleh Al Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 334), hal itu merupakan ijtihadnya Ummu Habibah semata, bukan perintah yang datangnya daqi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Demikian pula berwudhu setiap akan shalat, tidak ada perintahnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun hadits:
“Engkau tidak boleh meninggalkan shalat. (Apa yang kau alami) itu, hanyalah darah dari urat bukan haidh. Apabila datang haidhmu maka tinggalkanlah shalat dan bila telah berlalu hari-hari haidhmu, cucilah darah darimu (mandilah) dan shalatlah.” (Shahih, HR. Al Bukhari no. 228, 306, 320, 331 dan Muslim no. 333)
dengan tambahan perintah berwudhu setelah perintah mencuci darah (sebagaimana disebutkan dalam riwayat An Nasa’i dari jalam Hammad bin Zaid) maka tambahan ini dilemahkan oleh ahli ilmu. (Lihat Syarah Muslim, 4/22)

Yang wajib dilakukan wanita istihadhah hanyalah mandi ketika selesai masa haidhnya, meski darah terus mengalir. Hal ini merupakan perkara yang disepakati, kata Al Imam An Nawawi rahimahullah. (Syarah Muslim, 1/25)

Beliau rahimahullah menyatakan, dalam hal ibadah shalat, puasa, i’tikaf, baca Al Qur’an, menyentuh mushaf dan membawanya, sujud tilawah dan sujud syukur, maka wanita istihadhah sama dengan wanita suci dalam kebolehannya
dan hal ini merupakan perkara yang disepakati pula. (Syarah Muslim, 4/17)

Wallahu a’lam bish-shawab.
*Ainun Jariyah*.(L.Beheel).
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories

Pages

Cari Blog Ini

Search

Postingan Populer

Popular Posts

Arsip Blog

Recent Posts